TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PARASITOLOGI
MATA KULIAH PARASITOLOGI
"TREMATODA PARASIT DARAH DAN JARINGAN"
disusun oleh :
1. Wilda Florent Siregar (G1B012013)
2. Ayu Fitriastuti (G1B012017)
3. Ainun Zuhriyyah
(G1B012018)
4. Ika Ayu Fitri W (G1B012022)
5. Irwan Nur Rizki
(G1B012028)
6. Subhan Zainal A
(G1B012026)
KESMAS B
KEMENTRIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Trematoda
berasal dari kata trematos, yang
artinya berlubang dan berlekuk, yaitu cacing yang pada tubuhnya terdapat satu
atau lebih bagian yang berlekuk untuk menempel pada hospesnya. Anggotanya
terdiri dari cacing isap. Morfologi cacing ini berbeda-beda menurut cara
hidupnya sebagai parasit. Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk
seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat
reproduksi jantan dan betina yang menjadi satu (hermafrodit) kecuali pada
Trematoda darah (Schistosoma)
(Muslim, 2009).
Mempunyai
batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian
posterior tubuh. Pada umumnya bentuk badan cacing
dewasa pipih dorsoventral dan simetris bilateral, tidak mempunyai rongga badan.
Ukuran panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari 1mm sampai kurang lebih
75mm. tanda khas lainnya adalah terdapat 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut
dan batil isap perut. Pada umumnya trematoda tidak mempunyai alat pernapasan
khusus, karena hidupnya secara anaerob. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada
umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hewan lain (Ikan,
Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua.
Manusia atau hewan vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya (Muslim, 2009).
Spesies yang hidup pada manusia
disebut sebagai endoparasit karena hidup di dalam organ viseral, misalnya dalam
sistem pembuluh darah. Trematoda yang hidup pada manusia hidup sebagai parasit
sehingga organ pencernaan, genital, dan beberapa bagian lainnya mengalami
kemunduran fungsional. Habitat Trematoda dalam tubuh
hospes definitif bermacam-macam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Walaupun
hanya beberapa infeksi parasit yang menyebabkan kematian, tetapi banyak juga
yang menunjukkan angka kesakitan (morbiditas).
Kelainan yang disebabkan cacing daun
tergantung dari lokalisasi cacing dalam tubuh hospes, selain itu ada juga
pengaruh rangsangan setempat dan zat toksin di keluarkan oleh cacing. Reaksi
sistemik terjadi karena absorbsi zat toksin, sehingga menghasilkan gejala
alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Bila cacing hidup dijaringan paru
seperti Paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan
mungkin terjadi batuk darah (hemoptisis). Cacing yang hidup di saluran empedu
hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat
menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, dapat
menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus.
Akibat lainnya adalah peradangan hati sehigga terjadi hepatomegali. Cacing Schistosoma
yang hidup di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan
kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi fibrosis
jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus,
dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain (Soedarto, 2008).
Salah satu jenis
penyakitnya adalah skistomiasis. Skistomiasis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh cacing dari filum Platyhelmintes, kelas Trematoda, dan genus
Schistosoma. Penyakit Schistosoma diperkirakan menyerang 200 juta orang dan
terdapat di 72 negara di dunia ini, dari yang beriklim sedang sampai yang
beriklim panas. Penyakit ini merupakan problema yang berat bagi kesehatan
masyarakat dan sosioekonomi (Muslim, 2009).
Dalam beberapa dekade
terakhir, telah disadari akan pentingnya tenaga yang terlatih dan ahli untuk
mengerjakan prosedur diagnostik di bidang parasitologi. Suatu hal yang perlu
diketahui dan dirasakan penting artinya dalam penanganan kasus penyakit
parasit, yaitu metode diagnosis untuk menemukan parasit sebagai penyebab dan
menentukan diagnosis akhirnya. Hal inilah yang menjadi dasar untuk mengetahui
tentang morfologi, daur hidup, aspek klinis, dan diagnosis.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1.
Mengetahui
klasifikasi Trematoda darah dan jaringan
2.
Mengetahui
epidemiologi Trematoda darah dan jaringan, beserta distribusi geografis dan
kondisi penyakitnya
3.
Mengetahui
morfologi dari Trematoda darah dan jaringan
4.
Mengetahui
siklus hidup dari Trematoda darah dan jaringan
5.
Mengetahui
patologi Trematoda darah dan jaringan
6.
Mengetahui
pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Trematoda darah dan
jaringan
BAB II
ISI
2.1 Trematoda Darah
2.1.1 Schistosoma
japonicum
2.1.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma
japonicum
2.1.1.2 Epidemiologi, distribusi geografis, dan
kondisi penyakit
Schistosomiasis
merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup besar dengan prevalensi pada laki-laki umumnya lebih tinggi daripada
wanita. Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain
sebagai reservoir. Salah satu hewan yang penting adalah berbagai spesies tikus
sawah (Rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan
juga mengandung cacing ini.
Menurut
Davis (1996), Schistosoma japonicum
pertama kali ditemukan pada vena porta seekor kucing oleh Katsurada pada tahun
1904. Pada tahun 1909 sampai 1915 biologi cacing ini seperti siklus hidup dan
patologinya telah digambarkan dan dijelaskan oleh peneliti Jepang dan
peneliti-peneliti dari negara lainnya. Gambaran klinis penyakit ini diketahui
pada permulaan tahun abad ke 20 di China dan Philipina sedangkan di Indonesia
baru diketahui pada tahun 1930. Di Indonesia, siput Oncomelania ditemukan pada tahun 1971 oleh Carney. Siput tersebut
dinamakan oleh Davis dan Carney tahun 1973 sebagai Oncomelania hupensis lindoensi (Hadidjaja, 2000).
Infeksi Schistosoma japonicum banyak terjadi di Timur Jauh, Cina,
Indonesia, Jepang, dan Filipina. Schistosoma japonicum adalah satu-satunya trematoda darah pada manusia yang
kebetulan ditemukan di China. Ini disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum, sehingga penyakit ini masih tetapmenjadi
masalah kesehatan yang signifikan terutama di daerah danau dan tanah rawa.
Hospes definitifnya adalah manusia dan berbagai hewan seperti sapi,
kerbau, domba, anjing, rusa, kucing, tikus sawah, babi hutan dan lain-lain.
Sedangkan hospes perantaranya adalah keong air tawar dari genus Oncommelania sp. Spesies yang ada di
Indonesia Oncomelania hupensis Indoensis (Muslim,
2009).
Schistosomiasis di Indonesia, terdapat disekitar Danau
Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa (Propinsi Sulawesi Tengah) yang merupakan
daerah penyebaran endemis di Indonesia. Penyakitnya Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania
hupensis lindoensis yang ditemukan oleh Davis dan Carney, 1973 (Dinkes
Sulteng, 2006).
Infeksi oleh cacing schistosomes diikuti dengan demam Katayama akut.
Catatan sejarah penyakit Katayama
menunjukan kembali penemuan Schistosoma japonicum di Jepang pada
tahun1904. Penyakit ini dinamai sesuai dengan daerah endemik tersebut yaitu
Katayama, Hiroshima, dan Jepang. Jika tidak diobati, ia akan berkembang menjadi
suatu kondisi kronis yang ditandai dengan penyakit hepatosclemic dan perkembangan
fisik dan kognitif terganggu. Tingkat keparahan Schistosoma japonicum muncul dalam 60% dari semua penyakit saraf
di Schistosomes karena migrasi telur
ke otak.
Distribusi geografik bagi schistosomiasis
berlainan bagi trematoda darah, antar lain untuk Schistosoma japonicum
di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah lain di Timur
Jauh yang bersifat endemik dan enzootik.
Penelitian schistosomiasis di Indonesia telah
dimulai pada tahun 1940 yaitu sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di
Tomado, Dataran Tinggi Lindu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940 Sandground dan Bonne mendapatkan 53%
dari 176 penduduk yang diperiksa tinjanya positif ditemukan telur cacing (Jastal,
2008).
Secara keseluruhan penduduk yang berisiko tertular
schistosomiasis (population of risk)
sebanyak 15.000 orang. Di Indonesia, di pulau Sulawesi,
keadaan endemik tinggi di daerah Danau Lindu. Pada tahun 1971 dari pemeriksaan
tinja terdapat infeksi S. japonicum
53 % dari 126 orang penduduk pada usia antara 7-70 tahun, dan di lembah Napu
dilaporkan infection rate 8 dan 12% pada
dua desa serta 7% pada tikus liar
(Dinkes
Sulteng, 2006).
Kondisi penyakit terkini di beberapa
daerah yang telah dilakukan penelitian terhadap penyebaran penyakit ini seperti
di Dataran Tinggi Napu, prevalensi schistosomiasis pada manusia selama 5 tahun
terakhir (2003-2007) yaitu berturut-turut 0,63%, 0,52%, 0,64%, 1,21%, 1,14%. Di
Dataran Tinggi Napu juga pada tahun 2008 yaitu 2,4%, tetapi masih lebih
rendah dibandingkan di Cina pada tahun 2003 yaitu 92,74% dan di Propinsi
Jiangxi, China pada tahun 2005 yaitu 18,08%. Fluktuasi ini disebabkan
antara lain karena cakupan pemeriksaan tinja yang bervariasi (Jastal, 2008).
2.1.1.3 Morfologi
Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm. Integument
ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil
isap dan kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis (Muslim, 2009).
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm.
Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas di
daerah lateral, pada ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran
panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur (Susanto, 2008).
Morfologi telurnya berhialin, subsperis atau oval
dilihat dari lateral, dekat salah satu kutubnya terdapat daerah melekuk tempat
tumbuh semacam duri rudimenter (tombol). Telur berukuran 70-100 x 50-65 µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan pada vena kecil pada
submukosa atau mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur S. japonicum
biasa pada percabangan vena mesentrica superior yang mengalirkan darah
dari usus halus (Muslim, 2009).
2.1.1.4 Siklus
hidup
Siklus hidup Schistosoma japonicum, dimulai ketika
terjadi proses infeksi pada manusia. Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk
infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang
mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cercaria akan berubah bentuk
menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke
dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem
peredaran darah besar dan menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing
ini kembali ke vena porta dan vena usus dan kemudian cacing betina bertelur
setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar pembuluh darah, bermigrasi di
jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk kemudian ditemukan di
dalam tinja. Telur menetas dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium.
Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong O.h.
lindoensis dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan
kemudian menghasilkan cercaria (Kamarudin, 2001).
Patogenesis
Schistosoma japonicum, akan menyebabkan
perubahan-perubahan karena infeksi tiga stadium cacing Schistosoma japonicum yaitu cercaria, cacing dewasa dan telur. Pada
saat cercaria menembus kulit terjadi perubahan pada kulit berupa eritema dan
papula. Perubahan tersebut disertai rasa gatal dan panas. Bila cercaria yang
masuk ke dalam kulit dengan jumlah yang banyak, maka akan terjadi dermatitis.
Gejala paru timbul ketika schistosomula mencapai paru yaitu dengan timbulnya
batuk dan terkadang disertai dahak. Pada beberapa kasus, terkadang batuk
bercampur dengan sedikit darah. Gejala paru tersebut dapat menjadi berat
sehingga timbul serangan asma (Soedarto, 2008).
Manifestasi
toksik mulai timbul antara minggu ke-2 sampai minggu ke-6 setelah terjadi
infeksi. Pada stadium ini timbul gejala seperti lemah, malaise, tidak nafsu
makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh dan diare. Beratnya gejala
tergantung dari banyak atau sedikitnya cercaria yang masuk. Pada infeksi yang
cukup berat dapat timbul demam tinggi. Sedangkan stadium akut dimulai sejak
cacing betina bertelur. Gejala berat yang timbul adalah hepatomegali dan
splenomegali yang timbul 6-8 bulan setelah cercaria masuk (Kamarudin, 2001).
Stadium menahun
terjadi pada stadium lanjut. Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan
dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hepar yang semula membesar
karena peradangan, kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis, hal
ini disebut sirosis. Pada schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis
periportal yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya
bendungan di dalam jaringan hati. Gejala yang timbul yaitu splenomegali, edema
pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditentukan asites dan
ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan
karena pecahnya varises pada esofagus (Kamarudin, 2001).
2.1.1.5 Patologi
Jika cacing ini
menulari manusia, maka akan menyebabkan penyakit schistosomosis,
skistosomiasis japonika, penyakit katayama atau penyakit demam keong yang
menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di Asia
dan Afrika.
Seseorang yang menderita penyakit ini akan mengalami kerusakan hati, kelainan
jantung, limpa, ginjal, dan kantung kemih (Soedarto, 2008).
Jika terjadi infeksi
oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit tergantung kepada parasit
yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium, yaitu stadium inkubasi,
stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium proliferasi jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi migrasi
dan pematangan (stadium inkubasi), lesi yang mungkin timbul terdiri atas :
1.
Dermatitis, pada tempat penetrasi
serkaria, tampak pada 24-36 jam setelah infeksi, tidak diikuti infiltrasi
seluler yang istimewa,
2.
Perubahan pada paru-paru akibat trauma dan
infiltrasi, berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal eosinofil,
terdapat sel epiteloid dan giant cells sekeliling pembuluh darah
pulmoner pada migrasi larva yang lemah,
3.
Hepatitis akut mengikuti masuknya larva
serta selama pertumbuhannya dalam pembuluh darah portal intrahepatik,
4.
Hiperemi pada dinding usus halus mengikuti
masuk serta pematangan cacing pada vena mesentrica superior,
5.
Trauma dengan perdarahan setelah telur
diletakkan oleh cacing betina, melepaskan diri dari venule kemudian menembus
sub mukosa dan mukosa intestinal masuk ke dalam lumen usus, dan
6.
Biasanya ditandai dengan meningkatnya
eosinofil dalam perdaran darah sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic patologi akibat
absorbsi sistemik dari metabolit cacing.
2.1.1.6 Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dan pencegahan penyakit ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara seperti berikut :
1.
Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis
tentang cara-cara penularan dan cara pemberantasan penyakit ini.
2.
Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang
saniter agar telur cacing tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung
keong sebagai inang antara. Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S.
japonicum perlu dilakukan tetapi biasanya tidak praktis.
3.
Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian;
mengurangi habitat keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau
dengan mengeringkan dan mengalirkan air.
4.
Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida
(biaya yang tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).
5.
Untuk mencegah pemajanan dengan air yang
terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi
serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai dalam waktu singkat
atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga
terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan
alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria (Tiuria, 2008).
2.1.2 Schistosoma
mansoni
2.1.2.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma
mansoni
2.1.2.2 Epidemiologi, distribusi
geografis, dan kondisi penyakit
Penyakit oleh S. mansoni dinamakan
schistosomiasis mansoni, manson’s intestinal schistosomiasis atau
bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber manusia
yang lain, walaupun kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang ditemukan
terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar secara geografis di Afrika dan Brazil
serta daerah lainya yaitu Mesir, Puerto Rico dan Venezuela (Susanto, 2008).
Habitat pada vena mesentrica inferior yang
mengalirkan darah dari usus besar dan segmen posterior ileum. Telur ditimbun
pada venule di submukosa usus, sebagai hospes definitif, disamping pada
manusia juga pada kera dan rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara
siput air tawar genus Biomphalaria, Australorbis, Tropicobis,
terutama Biomphalaria glabrata dan Biomphalaria. Keong air tawar yang merupakan hospes perantara, seperti Biomphalaria di Afrika dan Biomphalaria (Australorbis) dan Tropicorbis di Amerika Selatan dan
Hindia Barat. Binatang mengerat, kera dan “babbon” di alam mengandung cacing
ini. Nama
penyakit yang diakibatkan dari cacing ini adalah skistosomiasis usus, atau
bilharzizsis intestinalis, dan disentri schistosoma. Penyakit schistosomiasis
akibat cacing ini tidak ditemukan di Indonesia, yang banyak ditemukan di
Indonesia adalah schistosomiasis akibat S.
japonicum (Kamarudin, 2001).
2.1.2.3 Morfologi
Morfologi cacing jantan panjangnya
6,4-12 mm, tuberkulasi jelas, duri kasar, testis 6-9 buah, pinggir lateral
saling mengunci oleh duri acuminate, pada tempat ini lebih panjang dari tepat
lain. Cacing betina panjangnya 7,2-17 mm, letak ovarium di anterior pertengahan
tubuh, kelenjar vitellaria memenuhi pinggiran lateral dan pertengahan tubuh,
uterus pendek diisi beberapa butir telur (1-4 butir) (Susanto, 2008).
Cacing dewasa jantan berukuran
kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar
bila dibandingkan dengan S. Haematobium dan
S.japonicum. Tempat hidupnya di vena,
kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru, dan
otak.
2.1.2.4 Siklus hidup
Siklus hidup S. mansoni,
pada kondisi yang menguntungkan, waktu minimum yang dibutuhkan ± 4 minggu.
Serkaria memiliki beberapa pasang kelenjar penetrasi pada bagian kepalanya,
menembus kulit hospes pada lipatan, lubang rambut atau dibawah selaput tanduk.
Perjalanan selanjutnya sama dengan S. japonicum.
Setelah telur manusia yang tinggal
dipancarkan parasit dalam kotoran dan masuk ke dalam air, masak miracidium
menetas keluar dari telur. Yang menetas terjadi sebagai respons terhadap suhu,
cahaya dan pengenceran dari kotoran dengan air. Setelah ini, parasit berkembang
melalui apa yang disebut sporocyst ibu dan anak sporocyst, generasi ke generasi
cercaria. Tujuan dari pertumbuhan bekicot adalah perkalian numerik dari
parasit. Dari satu hasil miracidium beberapa ribu cercaria, setiap spesies
mampu menginfeksi manusia. Serkaria muncul dari bekicot selama siang hari dan
mereka mendorong diri mereka dalam air dengan bantuan ekor mendua mereka,
secara aktif mencari tuan rumah terakhir mereka.Ketika mereka mengenali kulit
manusia, mereka menembus itu dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini terjadi
dalam tiga tahap, lampiran awal pada kulit, diikuti oleh serkaria merayapi
kulit mencari situs yang cocok penetrasi, sering sebuah folikel rambut, dan
akhirnya penetrasi ke dalam epidermis kulit menggunakan
cairan proteolitik dari pasca-cercarial acetabular, kemudian pra-acetabular
kelenjar (Susanto, 2008).
Pada penetrasi, kepala sercaria
berubah menjadi sebuah endoparasitic larva, yang
schistosomule. Setiap schistosomule menghabiskan beberapa hari di kulit dan
kemudian memasuki sirkulasi dimulai pada dermal dan venula
limfatik. Di sini mereka makan darah, muntah yang haem sebagai haemozoin. Schistosomule
bermigrasi ke paru-paru (5-7 hari pasca-penetrasi) dan kemudian bergerak
melalui sirkulasi melalui sisi kiri jantung ke sirkulasi hepatoportal (> 15
hari ) di mana, jika bertemu dengan pasangan lawan jenis, itu berkembang menjadi
dewasa secara seksual dan pasangan mesenterika bermigrasi ke pembuluh darah.
S.
mansoni parasit yang ditemukan terutama di mesenterika
inferior kecil pembuluh darah sekitar usus besar dan daerah sekum host. Setiap
betina meletakkan telur sekitar 300 hari (satu telur setiap 4,8 menit), yang
disimpan pada lapisan endotel dinding kapiler vena. Sebagian besar massa tubuh
perempuan schistosomes dikhususkan untuk sistem reproduksi. Mengkonversi wanita
hampir setara dengan tubuhnya sendiri ke dalam telur berat kering setiap hari.
Telur pindah ke lumen usus inang dan dilepaskan ke lingkungan dengan kotoran
(Muslim, 2009).
2.1.2.5 Patologi
Efek
patologi dari cacing ini sangat bergantung pada spesiesnya. Progresifitas dari
penyakit cacing ini ada tiga fase yaitu:
1. fase awal, selama
3-4 minggu setelah infeksi yang menunjukkan gejala demam, toksik dan alergi.
2. fase intermediate
sekitar 2,5 bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi, yaitu adanya perubahan
patologi pada saluran pencernaan dan saluran kencing dan waktu telur cacing
keluar tubuh.
3. fase terakhir,
adanya komplikasi gastro-intestinal, renal dan sistem lain, sering tak ada
telur cacing yang keluar tubuh. Proses permulaan dari fase dari spesies cacing
ini adalah demam yang berfluktuasi, kulit kering, sakit perut,
bronchitis, pembesaran hati dan limpa serta gejala diaree.
Kerusakan
yang nyata disebabkan oleh telur cacing, dimana S. mansoni , usus besar lebih terpengaruh. Telur terdapat dalam
venula dan submukosa yang bertindak sebagai benda asing, sehingga menyebabkan
reaksi radang dengan laukosit dan infiltrasi fibroblast. Hal tersebut
menimbulkan nodule disebut pseudotuberkel, karena nodule yang disebabkan reaksi
jaringan.
Abses kecil akan terbentuk
sehingga menyebabkan nekrosis dan ulserasi. Sering ditemui adanya sel eosinofil
dalam jumlah besar dalam darah dan diikuti penurunan jumlah sel radang. Banyak
telur terbawa kembali ke dalam jaringan hati dan
menumpuk dalam kapiler hati sehingga menimbulkan reaksi sel dan terbentuk
nodule pseudotuberkel. Hal tersebut menimbulkan reaksi pembentukan sel fibrotik
(jaringan ikat) di dalam hati dan menyebabkan
sirosis hepatis dan mengakibatkan portal hipertensi. Pembengkakan limpa terjadi
karena kongesti kronik dalam hati. Karena terjadinya kongesti
pembuluh darah viscera mengakibatkan terjadinya ascites. Sejumlah telur cacing
dapat terbawa ke dalam paru-paru, sistem
saraf dan organ lain sehingga menyebabkan terbentuknya pseudotuberkel di setiap
lokasi tersabut (Soedarto, 2008).
2.1.2.6 Pencegahan dan pengendalian
Upaya pencegahan penyakit yang
disebabkan oleh parasit ini hampir sama dengan pola pencegahan infeksi S
japonicum. Pada prinsipnya penggunaan Moluscisida pada beberapa keadaan
dapat efektif mengurangi atau secara lengkap memutuskan transmisi parasit, akan
tetapi membutuhkan waktu lama. Program kesehatan masyarakat dengan menyediakan
tempat mandi umum, mencuci pakaian serta sistem pembuangan yang sehat
memberikan pencegahan yang baik.
Obat-obat lainnya yaitu
Stibofen (Fuadin), pemberian intramuscular dalam larutan 6,3% 40-75 ml yang
diberikan dalam 10-16 kali pemberian. Niridazole (CIBA 32.644 Ba atau Ambilhar)
efektif mengobati Schistosomiasis mansoni dengan dosis perhari 25 mg/kgBB,
diberikan dalam waktu 5-10 hari. Obat lainnya yang cukup baik adalah nitroquinoline,
Oxamniquine, yang diberikan per-oral. Dosis optimim belum dapat ditentukan,
disarankan dosis 15 mg/kgBB dalam dosis tunggal. Niridazole lebih efektif pada
anak-anak daripada Oxamniquine yang efektif pada orang dewasa. Pengobatan
dengan Praziquantel aman dan efektif pada dosis tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz
merupakan obat baru yang dilaporkan juga efektif untuk Skistosomiasis mansoni
(Soedarto, 2008).
2.1.3.3 Schistosoma haematobium
2.1.3.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Subclass : Digenea
Order : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Species : S.
haematobium
2.1.3.2. Epidemiologi, Distribusi geografik, dan
kondisi penyakit
Tentang penyebaran Schistosoma
haematobium manusia bergantung pada variasi hospes keong
air. Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, kera dan baboon,
Sedangkan hospes perantara dari S.
Haematobium adalah keong yaitu dari genus Bulinus sp, Physopsis sp, dan
Biomphalaria sp. Penyakit yang disebabkan oleh S. haematobium adalah skistosomiasisvesikalis,
hematuriskistosoma, bilharziasis urinarius.karena S. haematobium akan
tinggal di pembuluh darah vena sekitar kandung kemih, panggul, uterus dan
prostat. Schistosoma haematobium
sangat endemis di seluruh lembah Sungai Nil dan boleh dikatakan telah menyebar
di seluruh Afrika, Pulau Malagasi, dan Mauritius. Sarang endemis ditemukan di
Israel, Jordania, Syria, Irak, Arab, Yaman, dan daerah kecil pantai barat
India. Di Mesir dan bagian lain Benua Afrika sebanyak 75-95% penduduk telah
terkena infeksi. Kera dan babon mendapat infeksi alami, tetapi hal ini mungkin
tidak penting untuk penyebaran infeksi (Kamarudin, 2001).
Penyebaran di Indonesia terdapat di sekitar danau
Lindu Sulawesi Tengah. Distribusi Schistosoma haematobium
sebagian besar di Sub-Sahara, di lembah Sungai Nil, di Afrika, negara utara
lainnya, dan di Timur Tengah. Schistosoma
japonicum adalah jenis parasit yang terdapat di Asia dari timur, di Cina,
dan Filipina. Upaya pencegahan yang dilakukan prinsipnya sama dengan pencegahan
pada kasus Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni.
Spesies ini merupakan trematoda darah
yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis vesikalis (penyakit parasit
pada organ genitourinari), schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary
bilharziasis, dan schistosomal hematuria. Schistosomiasis haematobium
sering terjadi di hulu Sungai Nil. Sebagian besar Afrika termasuk
kepulauan di Pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa, Asia barat dan
India. Cacing jenis ini tidak dapat ditemukan di Indonesia. Hospes
definitifnya adalah manusia. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai hospes
reservoar. Cacing ini menyebabkan skistosomiasis
kandung kemih.
2.1.3.3. Morfologi
Cacing dewasa jantan berukuran
kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul
kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan alat-alat
dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum (Muslim, 2009).
Cacing jantan, gemuk, berukuran
10-15 x 0,8-1 mm. Dengan ditutupi integumen tuberkulasi kecil, memiliki 2 batil
isap berotot, yang ventral lebih besar. Di sebelah belakang batil isap ventral,
melipat ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis
ginekoporik. Persis di belakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis
besar.
Porus genitalis tepat di bawah
batil isap ventral. Sedangkan cacing betina, panjang silindris, ukuran 20 x
0,25 mm. Batil isap kecill, ovarium terletak posterior dari pertengahan tubuh.
Uterus panjangnya
sekitar 20-30 telur berkembang pada satu saat dalam uterus. Oviposisi biasa
terjadi dalam venule kecil pada vesica urinaria dan pelvicus seperti venule
rectalis. Tempat-tempat ektopik ditemukan pada kelenjar prostat dan jaringan
subkutan lipat paha dan skrotum, jaringan kulit sekitar umbilikus, konjungtiva
dan kelenjar lakrimalis (Muslim, 2009).
2.1.3.4. Siklus hidup
Orang yang terinfeksi buang air kecil atau buang air besar di air. Air
kencing atau kotoran mengandung telur cacing. Telur cacing menetas dan cacing
pindah ke keong. Cacing muda pindah dari keong ke manusia. Dengan demikian,
orang yang mencuci atau berenang di air di mana orang yang terinfeksi pernah
buang air kecil atau buang air besar, maka ia akan terinfeksi (Susanto, 2008).
Cacing atau serkaria
(bentuk infektif dari cacing Schistosoma) menginfeksi dengan cara
menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria.
Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria
menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir
dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung
kiri, kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena
portae dan menjadi dewasa di hati.
Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan
vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah
berkopulasi. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur dapat
menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk
ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin.
Telur menetas di dalam air dan larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium
ini kemudian masuk ke tubuh keong air dan berkembang menjadi serkaria (Susanto,
2008).
2.1.3.5. Patologi
Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk ke dalam pembuluh
darah kulit. Lebih kurang lima hari setelah infeksi, cacing muda mulai
menjangkau vena porta dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi,
pematangan cacing dimulai sejak keluar dari vena porta. Setelah 10-12 minggu
cacing betina mulai meletakkan telur pada venule.
Pada schistosomiasis vesicalis, primer kerusakan jaringan pada dinding
vesica urinaria, sekunder pada bagian distal ureter, organ urinarius dan
genital yang berdekatan atau rectum dan akhirnya pada paru-paru dan organ yang
lebih jauh. Bila jumlah telur lebih banyak maka akan diinfiltrasi dan ditahan
dalam jaringan, menjadi pusat pembentukkan pseudoabses. Abses dekat lumen
vesica urinaria atau organ lain, mungkin pecah dan mengeluarkan telurnya ,
berlanjut dengan pembentukkan jaringan fibrosis berakhir dengan pembentukan pseudotuberkel
yang akhirnya akan terjadi fibrosis seluruh organ. Efek S.haematobium
terdiri atas:
1.
Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang
sedang tumbuh dan matang,
2.
Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari
venule,
3.
Pembentukkan pseudoabses dan psudotuberkel
mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskular, dan
4.
Obstruktif uropati. Aspek klinik infeksi terbagi
menjadi tiga periode : masa inkubasi, deposisi dan ekstruksi telur,
proliferasi jaringan dan perbaikan.
Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi dan
pembentukkan pseudotuberkel pada sekeliling telur diikuti: (1) hyperplasia dan
fibrosis umum dinding vesica dan ureter bagian bawah.(2) infeksi sekunder.
Gejalanya berupa sistitis kronis. Pemeriksaan sitoskopis menjadi lebih sulit.
Lesi yang terjadi pada laki-laki dapat sampai penis dan elephantiasis organ
akibat penyumbatan limphaticus scrotalis. Lesi pada wanita biasanya kurang
berat meskipun serviks, vagina dan vulva mungkin dikenai (Soedarto, 2008).
2.1.3.6. Pencegahan dan pengendalian
Upaya untuk mengurangi sumber infeksi dari
cacing ini dilakukan dengan pengobatan penderita, terutama pengobatan massal di
daerah endemik. Dapat dilakukan pencegahan dengan tiga program, yaitu: 1)
eradikasi tuan rumah molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi,
dengan penanganan air dan kampanye moluscasida pada daerah endemik, 2)
perbaikan sanitasi lingkungan untuk mengurangi kepadatan habitat siput di mana
telur schistosoma dikeluarkan
pada urine dan feses manusia yang merupakan sumber infeksi untuk siput, 3)
pengobatan secara efektif pada penderita terutama carrier untuk mengurangi
kontaminasi pada air.
Sebelum dilakukan pengobatan kemoterapi
untuk skistosomiasis, sebaiknya dilakukan perbaikan gizi penderita. Pada kasus Schistosoma haematobium, obat yang
memberi hasil sangat efektif adalah kalium dan antimonium tartrat secara
intravena pada dosis maksimum dan teratur.
2.2 Trematoda Jaringan
2.2.1. Trematoda hati
2.2.1.1. Clonorchis
sinensis
2.2.1.1.1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Opisthorchiida
Family : Opisthorchiidae
Genus : Clonorchis
Spesies : Clonorchis sinensis
2.2.1.1.2. Epidemiologi, distribusi geografis, dan
kondisi penyakit
Manusia biasanya terkena infeksi bilamana makan ikan
mentah yang mengandung metaserkaria dan kadang-kadang tertelan kista yang
terdapat di dalam air minum. Jumlah oramg yang terkena infeksi tergantung pada
kebiasaan cara makan mereka, dan tidak selalu berbanding lurus dengan frekuensi
parasit di dalam hewan sebagai reservoir.
Distribusi geografik cacing ini ditemukan di Cina,
Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi
autotokton. Cacing ini
pertama ditemukan di Kalkuta India pada seorang tukang kayu suku cina pada
tahun 1875. Infeksi lain ditemukan di Hong-Kong dan Jepang. Dewasa ini
diketahui bahwa “chinese liver fluke” tersebar secara luas di Jepang, Korea,
Cina, Taiwan dan Vietnam. Diperkirakan sekitar 19 juta orang terinfeksi cacing
di Asia Timur tahun 1947, yang mungkin akan menjadi lebih banyak lagi dewasa
ini. Cacing berukuran panjang 8-25 mm dan lebar 1,5-5 mm
(Hadidjaja, 2000).
Hospes definitif parasit ini terutama
manusia dapat juga kucing dan anjing. Membutuhkan dua hospes perantara , yaitu
hospes perantara I siput air tawar genus Bulimus,
Parafossarulus, Alocinma serta spesies Melanoides
tuberculatus mungkin juga dari genus Thiara,
Semisulcospira. Dan yang bertindak sebagai hospes perantara II adalah ikan
dari family Cyprinidae (terutama di
Jepang), Salmonidae, Gobiidae, dan Anabantidae.
2.2.1.1.3 Morfologi
Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang di tetemukan di saluran
pankreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm dengan integument tidak
berduri, bentuknya pipih, lonjong, memanjang, transparan, menyerupai daun
dengan bagian posterior membulat. Telur berukuran kira-kira 30x16 mikron,
bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan di saluran
empedu (Susanto, 2008).
Batil isap kepala sedikit lebih besar daripada batil
isap perut dan terletak 1/3 anterior tubuh. Gambaran khas pada besar dan
dalamnya lekuk lobus/cabang testis, dengan cabang ke lateral.
Letak
testis berurutan, sebelah posterior dan ovarium yang lebih kecil dan juga
berlobus. Ovarium ini terletak di garis tengah, pada pertemuan 1/3 posterior
dan 1/3 tengah tubuh. Uterus tampak berkelok-kelok, bermuara pada porus
genitalis berdampingan dengan muara alat kelamin jantan (Susanto, 2008).
Telur berbentuk oval dengan ukuran
(28-35) x (12-19) m, ukuran dinding sedang, memiliki poerkulum konvex, bagian
posterior menebal. Telur ini diletakkan dalam saluran empedu dalam keadaan
sudah matang kemudian keluar bersama tinja dan baru menetas jika ditelan tuan
rumah perantara I. telur dalam tinja dapan bertahan selama 2 hari dalam suhu
26’C dan 2 hari pada 4-8’C (Kamarudin, 2001).
2.2.1.1.4. Siklus
hidup
Cacing dewasa hidup di saluran
empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000 butir/hari sampai 6 bulan. Telur
yang telah masak berwarna kuning coklat dan akan menetas bila dimakan
oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes intermedier
ke 1. Telur menetas keluar merasidium yang
akan berubah menjadi sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ
lain siput dalam waktu 4 jam setelah infeksi (Muslim, 2009).
Sporocyst memproduksi redia
dalam waktu 17 hari, dan setiap redia
memproduksi 5-50 serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekork, kemudian keluar dari siput berenang
dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam kedasar air. Bila menemukan
ikan sebagai hospes intermediet ke 2,
cercaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan
ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut
menjadi metacercaria.
Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C.
sinensis ini terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metacercaria juga dapat menginfeksi jenis krustacea
(udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan Palaemonetes.
Cacing dewasa hidup di saluran
empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000 butir/hari sampai 6 bulan. Telur
yang telah masak berwarna kuning coklat dan akan menetas bila dimakan
oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes intermedier
ke 1. Telur menetas keluar merasidium yang
akan berubah menjadi sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ
lain siput dalam waktu 4 jam setelah infeksi. Sporocyst memproduksi redia dalam
waktu 17 hari, dan setiap redia memproduksi 5-50 serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekork, kemudian keluar dari siput berenang
dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam kedasar air. Bila menemukan
ikan sebagai hospes intermediet ke 2,
cercaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian
menanggalkan ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik
ikan tersebut menjadi metacercaria. Banyak spesies ikan yang menjadi hospes
intermedier ke 2 dari C. sinensis ini terutama yang termasuk dalam
famili Cyprinidae. Metacercaria juga
dapat menginfeksi jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan
Palaemonetes (Muslim, 2009).
Hospes definitif (orang) akan
terinfeksi oleh cacing ini bila makan ikan/udang secara mentah-mentah/dimasak
kurang matang. Dalam keong air (Bulinus Semisulcospira), mirasisium
berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong
air dan mencari hospes perantara II yaitu ikan (Family Ciprynidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria
melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik.Kista ini
disebut metaserkaria. (Susanto, 2008)
Perkembangan dalam tubuh ikan berlangsung selama 23
hari.Jika daging ikan yang mengandung cacing kista tersebut (kista) dimasak
kurang sempurna, jika dimakan hospes maka di dalam duodenum, larva keluar dari
kista, masuk ke dalam saluran empedu sebelah distal dan cabang-cabangnya
melalui ampulla Vateri. Untuk menjadi cacing dewasa dibutuhkan waktu 1 bulan,
sedangkan seluruh siklus diperlukan kurang lebih 3 bulan.
Hewan yang dapat terinfeksi C.
sinensis ini adalah babi, anjing, kucing, tikus dan unta. Hewan
laboratorium seperti kelinci dan marmot sangat peka terhadap infeksi cacing
ini. Metacercaria
menjadi cacing muda pada dinding duodenum dan bermigrasi ke hati melalui
saluran empedu. Cacing muda ditemukan didalam hati dalam waktu 10-40 jam
setelah infeksi (pada hewan percobaan). Cacing tumbuh menjadi dewasa dan
memproduksi telur dalam waktu sekitar 1 bulan, sedangkan daur hidup secara
komplit dalam waktu 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup selama 8 tahun pada
tubuh orang (Muslim, 2009).
2.2.1.1.5. Patologi
Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu.
Pengaruhnya terutama bergantung pada
jumlah cacing dan lamanya menginfeksi.Untungnya jumlah cacing yang menginfeksi
biasanya sedikit. Pada daerah endemik jumlah cacing yang pernah ditemukan
sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan
terjadinya penebalan epithel empedu sehingga dapat menyumbat saluran empedu.
Pembentukan kantong-kantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan parenkim
hati dapat merusak sel sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang kemudian
dikelilingi jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi hati.
Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada
hubungannya antara infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum
dapat dipastikan. Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi
persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh obstruksi saluran
empedu oleh telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal
ini perlu penelitian lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit
Clonorchiasis.
Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan
penebalan dinding saluran dan perubahan jaringan hati yang berupa radang sel
hati. Gejala dibagi 3 stadium: stadium ringan tidak ada gejala, stadium
progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, diare, edema, dan pembesaran
hati, dan stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri dari
pembesaran hati, edema, dan kadang-kadang menimbulkan keganasan dalam hati yang
dapat menyebabkan kematian.
2.2.1.1.6 Pencegahan dan pengendalian
Pencegahan penularan cacing Chlonorsis
sinensis pada manusia dapat dilakukan dengan cara memutus rantai hidup
cacing ini, meliputi :
1.
Tindakan pengendalian industri, pembuangan ekskreta
dan air limbah/khusus kotor yang aman untuk mencegah kontaminasi pada air
sungai, pengolahan air limbah untuk keperluan akuakultur, iradiasi ikan air
tawar, pembekuan dingin, perlakuan panas, misalnya pengalengan.
2.
Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga, memasak ikan
air tawar sampai benar-benar matang. Konsumen harus menghindari konsumsi ikan
air tawar yang mentah atau kurang matang.
Pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan, pengobatan pada
masyarakat yang terinfeksi untuk mengurangi reservoir infeksi, pemberantasan
anjing dan kucing liar.Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging
sapi dan daging ikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan
air. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman.
Upaya yang lain adalah dengan menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku,
membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar. Tidak
boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar
sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari
sumber air. Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan
pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan
mengobatinya dengan obat cacing. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit
usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit. Meski kebanyakan penderita
parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa
menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar
dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka
sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.
2.2.1.2. Opisthorchis felineus
2.2.1.2.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum :
Platyhelminthes
Kelas :
Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Plagiorchiida
Subordo :
Opisthorchiata
Superfamili : Opisthorchioidea
Famili :
Opisthorchiidae
Genus : Opisthorchis
Spesies : Opisthorchis
felieus
2.2.1.2.2 Epidemiologi, distribusi geografik, dan kondisi penyakit
Cacing
ini tersebar di Eropa Timur, Eropa Tengah, Eropa Selatan, Asia, Vietnam, dan
India, Daerah yang sangat endemis adalah Polandia, Donetz, dan Desna Basin.
Penyebaran parasit ini umumnya berhubungan dengan kondisi dan fasilitas
kebersihan yang buruk, kebiasaan maka ikan mentah dan adanya perkembangan
sanitasi irigasi misalnya bendungan. Sehingga musim hujan tinja penderita
mencemari kolam dan sungai sehingga ikan dan siput dapat berkembang biak.
Diperkirakan bahwa 12,5 juta orang yang tinggal di
negara – negara Uni soviet beresiko untuk opisthorchiasis, kebetulan hati
infeksi yang disebabkan oleh ikan tawar menelan infeksi dengan metaserkaria
dari Opisthorchis felineus
(Kamarudin, 2001).
Hospes definitif cacing ini adalah
kucing, anjing, manusia, anjing hutan, dan babi. Cacing dewasa hidup ini di
dalam saluran empedu dan saluran pancreas hospes definitif. Hospes perantara
I-nya adalah keong air tawar dan genus Bulinus, sedangkan hospes perantara
II-nya adalah spesies ikan Cypirinde. Penyakit yang disebabkan cacing ini
disebut opistorkiasis.
2.2.1.2.3. Morfologi
Cacing
dewasa berwarna kemerahan berukuran sekitar 12 x 3 mm dan terdapat dua alat
isap yaitu isap mulut dan ventral.Cacing ini memiliki testes yang padat dan
berlobus yang terletak di bagian posterior sedangkan ovarium berlobus melingkar
dan berisi telur.Terdapat pula sekum yang panjang mencapai ke ujung bagian
posterior dari tubuh serta viteralia yang kecil terletak di bagian lateral dari
pertengahan tubuh.
Telurnya berbentuk oval seperti kendi,
lebih kecil dan ujungnya lebih menyempit, ukurannya 298 x 16 mikron, bagian
posterior menebal, operculum besar, pinggirnya kurang jelas dan isi telur
berupa mirasidium (Soedarto, 2008).
2.2.1.2.4. Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja penderita,
masuk ke dalam air, lalu di makan siput.Di dalam tubuh siput menetas menjadi
mirasidium, lalu berkembang menjadi sporokista, redia, serkaria. Serkaria
meninggalkan tubuh siput, berenang mencari ikan sebagai hospes perantara kedua.
Serkaria berkembang menjadi metaserkaria
lalu membentuk kista yang efektif bagi hospes definitif. Apabila kista
metaserkaria termakan oleh hospes definitif, cacing muda keluar dari kista
menuju duodenum atau saluran empedu. Cacing menjadi dewasa dalam waktu 3 minggu
sampai 4 minggu (Muslim, 2009).
2.2.1.2.5. Patologi
Patologi cacing ini sama seperti pada Clonorchis. Ditemukannya telur yang khas
di tinja atau drainage duodenum merupakan diagnosis pasti. Infeksi dapat
dicegah dengan masak ikan dan membuang tinja menurut cara-cara sanitasi.
Mulai pada perkembangan larva masuk di saluran
empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi saluran
empedu dan penebalan dinding saluran.Selain itu dapat terjadi perubahan
jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul
sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan
bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya
infeksi. Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak
ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan,
perut rasa penuh, diare, edema dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut di
dapatkan sindrom hipetensi portal yang terdiri atas pembesaran hati, ikterus,
asites, edema, dan sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan
dalam hati.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan
telur dalam tinja atau cacing duodenum.Pada daerah endemis yang penduduknya
gemar makan ikan mentah, diagnosis klinis dapat diduga apabila penderita
mengalami hepatomegali dan hepatitis.Apabila terjadi infeksi lanjutan, gejala
sebelumnya harus dapat dibedakan dengan tumor ganas dan sirosis hati (Choi,
2007).
2.2.1.2.6. Pencegahan dan pengendalian
Diagnosis ditegakan dengan menemukan
telur yang berbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum. Penyakit ini
dapat diobati dengan parazikuantel. Mengurangi sumber
infeksi dengan melakukan pengobatan pada penderita. Menghindarkan penularan
melalui ikan dengan memasak sempurna, pengasinan, pendinginan atau
pemberian cuka bagi ikan yang akan dimakan, selain itu diperlukan pendidikan
yang berhubungan dengan sanitasi.
2.2.1.3
Fasciola
hepatica
2.2.1.3.1.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Echinostomida
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica
2.2.1.3.2. Epidemiologi, distribusi geografis, dan
kondisi penyakit
Penyakit
ini disebabkan oleh trematoda hati Fasciola
hepatica. Cacing ini kosmopolit terutama di negara yang banyak petrnakan
besar (terutama ternak biri-biri). Infeksi pada manusia sering terjadi di Kuba,
Perancis, Inggris, dan Aljazair. Penyebaran geografis cacing ini di seluruh
dunia terutama di daerah peternakan domba, lembu, dan biri-biri. Di daerah
Amerika Latin, Perancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan
kasus fasioliasis pada manusia (Susanto, 2008).
Hospes
definitive parasit ini adalah manusia, kambing, dan sapi. Sedangkan hospes
perantaranya adalah keong air (Lymnea)
merupakan hospes I dan tumbuhan air merupakan hospes II. Nama penyakit yang
disebabkan oleh parasit ini adalah fascioliasis.
Penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di Indonesia ditemukan hampir di
seluruh daerah, terutama di daerah yang basah. Tingkat morbiditas dilaporkan
50-75 %, rata-rata 30 %. Dilaporkan bahwa 2,5 juta orang telah terinfeksi di 61
negara terutama dari Bolivia, Peru, Mesir, Iran, Portugal, dan Perancis, dan
bahwa lebih dari 180 juta orang beresiko. Di sebelah utara Iran, berdasarkan
penelitian carpological menunjukkan sekitar 7.3 dan 25,4% prevalensi global
pada ternak domba. Fasciola hepatica umumnya ditemukan di Negara empat musim
atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia,
Australia dan New ZealandCHEN don MOTT (1990), mengatakan bahwa dalam kurun
waktu 20 tahun terakhir, yaitu antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1990,
telah terjadi kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh F. hepatica pada
2594 orang di 42 negara. menurut HOPKINS (1992), penderita fasciolosis adalah
sekitar 17 juta orang di seluruh dunia (Suhardono, 2001).
Distribusi geografis di wilayah USA adalah Florida, Mississippi selatan
drainase, barat laut negara dan California. Fascioliasis di Indonesia hanya
disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica dan induk semangnya
yaitu siput L. Rubiginosa. Prevalensi penyakit ini pada ternak di daerah Jawa
Barat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara
40-90%, sedangkan Pada DIY mencapai 40-90%.
2.2.1.3.3. Morfologi
Cacing
ini berbentuk
pipih seperti daun, ukuran 20-30 milimeter X 8-13 milimeter, cuticula bersisik.
Ujung anterior mempunyai tonjolan seperti kerucut disebut
cephalic
cone, sehingga memberi gambaran bentuk bahu, sedangkan pada bagian posteriornya
tumpul.
Ia juga mempunyai ventral sucker yang ukurannya lebih besar daripada
oral sucker.
Dengan bentuk oesophagus pendek, caeca bercabang,
memenuhi bagian lateral badan sampai ujungposterior. Ia memiliki testis dua
buah berbentuk dendrit dan susunannya tandem, kelenjar vittelaria
tersebarsecara merata di bagian lateral dan posterior tubuh. Mempunyai ovarium
yang berbentuk dendrit, uterus berkelok-kelok (coiled) ke anterior dan berakhir
di porus genitalis di sebelah anterior ventral
sucker (Susanto, 2008).
Telurnya berbentuk oval, besar, ukuran 130-150µ x
63-90µ, warna kuning kecoklatan, mempunyai operculum. Sewaktu keluar bersama
faeces belum mengandung embrio (unembryonated).
2.2.1.3.4.
Siklus hidup
1.
Telur keluar ke alam bebas bersama faeces domba. Bila menemukan
habitat basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut
Mirasidium.
2.
Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan
tumbuh menghasilkan Sporokista.
3.
Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan
Redia
4.
Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria.
Serkaria meninggalkan tubuh siput menempel pada rumput dan berubah menjadi
metaserkaria.
5.
Metaserkasria termakan oleh hewan ternak berkembang
menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati
inang yang baru untuk memulai daur hidupnya (Muslim, 2009).
2.2.1.3.5. Patologi
Terjadi sejak larva masuk kesaluran empedu sampai menjadi dewasa. Parasit
ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding
saluran. Selain itu, dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel
hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan
edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing
yang terdapat disaluran empedu dan lamanya infeksi gejala dari penyakit
fasioliasis biasanya pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium
progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut terasa penuh, diare dan
pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang
terdiri dari perbesaran hati, ikterus, asites, dan serosis hepatis.
2.2.1.3.6. Pencegahan dan pengendalian
Beberapa cara-cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan tidak memakan
sayuran mentah, pemberantasan penyakit fasioliasis pada hewan ternak.
Bagi peternak hewan ternak yang menjadi tempat metaserkaria berkembang menjadi
cacing muda harus mengusahakan agar kandang harus dijaga tetap bersih, dan
kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau selokan. Siput-siput disekitar kandang
dimusnakan untuk memutus siklus hidup Fasciola hepatica, sehingga cacing ini tidak menginfeksi ternak
yang dagingnya akan dikonsumsi manusia. Pengobatan dengan obat-obatan yang
dapat diberikan antara lain Heksakloretan, heksaklorofan, rafoxamide, niklofolan,
dan bromsalan yang disuntikkan di bawah kulit.
2.2.1.4. Dicrocoelum dendriticum
2.2.1.4.1.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Plagiorchiida
Family : Dicrocoeliidae
Genus : Dicrocoelium
Species : D. Dendriticum
2.2.1.4.2. Epidemiologi, distribusi geografis, dan
kondisis penyakit
Host definitif pada domba, kambing, sapi, anjing,
keledai, kelinci, jarang pada manusia yang termakan host intermediet .cacing hati dicrocoelium dendriticum yang
biasanya terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia
lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia, dan Amerika Utara yang menyebabkan munculnya penyakit
dicrocoeliasis (Soedarto, 2008).
Penyakit dicrocoeliasis disebabkan oleh
cacing hati dicrocoelium dendriticum yang biasanya terdapat di dalam pembuluh
empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada
manusia di Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Dicrocoelium dendriticum ditemukan
di seluruh Eropa (mantan Uni Soviet, Swiss, Italia, Jerman, Spanyol, Turki),
Timur Tengah (Iran), Asia (Cina, Jepang, Vietnam), Afrika (Ghana, Nigeria,
Sierra Leone) dan di Utara dan Amerika Selatan dan Australia. Parasit ini
cenderung ditemukan di daerah yang mendukung host intermediate, seperti bidang
dengan kering, kapur dan tanah basa.
Dicrocoeliasis diyakini endemik atau berpotensi endemik di 30 negara (Soedarto,
2008).
2.2.1.4.3. Morfologi
Tubuh
memanjang, dengan panjang 6-10 × 1,5-2,5 mm. Bagian anterior sempit di bagian
lengan melebar. Diposterior alat kelamin dipenuhi uterus yang bercabang-cabang.
Telur coklat 36-45×20-32 mikron, beropeculum. Terdapat di dalam duktus
biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia
(Susanto, 2008).
2.2.1.4.4 Siklus hidup
Host
intermediet 1 : siput
Host intermediet 2 : semut
Telur dimakan Hospes intermediet 1 lalu menetas dan
berkembang menjadi mirasidium. Ia melakukan migrasi ke glandula mesenterika,
kemudian berkembang menjadi sporosiste lalu menjadi sporosiste anak dan menjadi
serkaria.
Serkaria bergerombol, satu sama lain
dilekatkan oleh subtansi gelatinous yang disebut “SLIME BALLS”. Kumpulan
serkaria ini mengandung 200-400 serkaria dan dikeluarkan dari siput yang pada
akhirnya melekat di tumbuh-tumbuhan. Slime balls dimakan semut. Metaserkaria di
cavum abdominalis semut ± 128 per semut. Dapat juga memasuki otak semut. Induk
semang definitif terinfeksi karena makan semut→ duktus biliverus→ hati. Cacing
yang kecil masuk kecabang duktus biliverus→menempel dengan perubahan patologi
tidak begitu tampak untuk memproduksi telur yang di butuhkan sekitar 11 minggu
setelah hewan memakan metaserkaria (dibanding Fasciola hepatica) kecuali ada
infeksi berat. Pada infeksi lanjut→ Cirrhosis hepatica dan terbentuk pada
permukaan hati, duktus biliverus melebar terisi cacing (Susanto, 2008).
2.2.1.4.5. Patologi
Gejala klinis atau patologi yang terlihat saat
seseorang terkena infeksi cacing ini adalah munculnya oedema dan tubuh yang
kurus. Tetapi pada beberapa kejadian tidak ada gejala klinis. Gejala klinis
lainnya adalah dengan adanya serosis pada permukaan liver dan duktus empedu.
Anemia berat dapat mengancam dan terjadinya
proliferasi glandula epitel pada duktus biliverus.
Diagnosis untuk infeksi dicrocoeliasis
melibatkan identifikasi D. dendriticum
telur dalam kotoran manusia atau hewan. Namun, pada manusia, telur dalam tinja
mungkin hasil dari hewan yang terinfeksi menelan mentah hati dan mungkin tidak
pada kenyataannya menunjukkan dicrocoeliasis. Oleh karena itu, memeriksa cairan
empedu atau duodenum untuk telur adalah teknik diagnostik yang lebih akurat.
2.2.1.4.6. Pencegahan dan pengendalian
Melihat pada kasus-kasus penyakit yang
terjadil, karena infeksi manusia dengan D.
dendriticum sangat jarang, ada beberapa saran untuk perawatan. Pengobatan
standar adalah dengan Praziquantel pada 25 miligram per kilogram tiga kali
sehari selama satu hari. Dalam salah satu pasien Jerman 600 mg dari
Praziquantel diberikan tiga kali sehari selama tiga hari juga terbukti berhasil
dalam menghilangkan parasit dari tubuh. Pengobatan dengan triclobendazole juga
terbukti efektif. Salah satu perawatan yang telah terbukti berhasil di kedua
manusia, domba dan kambing adalah 2 kapsul Mirazid (300 mg) selama enam hari.
2.2.1.5. Ophistorchis viverini
2.2.1.5.1.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelmintes
Class : Trematoda
Order : Opisthorchiida
Family : Opisthorchiidae
Genus : Opisthorchis
Spesies
: Opisthorchis viverini
2.2.1.5.2. Epidemiologi, distribusi geografis, dan
kondisi penyakit
Ophisthorchis
viverini penyebarannya terdapat di Asia (Asia Tenggara terutama Thailand dan Laos).
Pada umumnya
cacing ini hidup di saluran empedu, namun kadang-kadang terdapat pula pada intestinum
dan saluran pankreas. Hospes definitifnya adalah musang, kucing liar, kucing domestik,
anjing serta manusia (Kamarudin, 2001).
2.2.1.5.3. Morfologi
Memiliki panjang 7-12
mm lebar 3mm, Berbentuk pipih dan memanjang, oral sucker dan ventral sucker
berukuran sama, testis terletak pada sepertiga bagian akhir, berlobus, uterus
terletak antara ventral sucker dan ovarium, telur berukuran 26-30 x 11-15
mikrometer, berbentuk oval dan memiliki sedikit bahu yang menonjol.
2.2.1.5.4. Siklus hidup
a.
Induk semang antara I merupakan siput dari genus Bithynia, sedangkan induk semang antara II adalah ikan air tawar
b.
Telur dimakan oleh siputàmirasidiumàsporosisàrediaàcercariaàdimakan oleh ikanàmetacercariaàdewasa
c.
Metacercaria menetas dalam duodenum dan bermigrasi melalui ductuscholeducus ke saluran empedu
d.
Masa prepaten 3-4 minggu (Soedarto, 2008).
2.2.1.5.5. Patologi
Penyakit oleh cacing ini disebut
opisthorchiasis. Cacing dewasa akan merangsang terjadinya reaksi radang serta
poliferasi sel epitel saluran empedu. Perubahan ini dialnjutkan dengan
dibentuknya jaringan fibrosis. Pada infeksi berat, proses akan merembet ke
bagian proksimal saluran empedu dan terjadi fibrosis periportal. Beratnya
penyaikt tergantung dari jumlah cacing serta lam infeksi. Jumlah cacing 50-60
ekor, menimbulkan gejala ringan, pada jumlah cacing beberapa ratus sampai 1000
ekor, menimbulkan gejala sedang nyeri, pembesaran hati serta bendungan pasif
pada lien, disertai ikterus dan eosinofil lokal pada dinding usus. Pada
penyakit besar, cacing akan menyerbu pankreas dengan disertai gangguan pencernaan
makanan. Batu empedu dapat terbentuk sekeliling telur cacing yang bertindak
sebagai inti batu tersebut, disertai cholecystitis dengan kolik. Timbul gejala
penurunan nafsu makan, edema muka dan ekstremitas disertai asites (Soedarto,
2008).
- Cacing Ophistorchis menyebabkan infeksi kataralis pada saluran empedu
- Epithel saluran empedu mengalami hyperplasia dan kemudian akan berkembang menjadi
carcinoma
- Pembesaran pada hati dan pelebaran saluran empedu
- Gejala klinis berupa hilangnya nafsu makan, muntah, anemia, ikterus, gangguan pencernaan,
oedem, dan pada stadium lanjut terjadi
ascites.
2.2.1.5.6. Pencegahan dan pengendalian
Cara pencegahan dari cacing Ophisthorchiasis adalah jika hidup pada daerah endemik, ikan mentah jangan dikonsumsi ataupun diberikan kepada hewan peliharaan, mengurangi
sumber infeksi dengan pengobatan penderita, menghindari penularan melalui TRP
dengan memasak sempurna ikan yang akan dimakan, akan tetapi pengasinan,
pendinginan, pemberian cuka tidah membunuh cacing. Selain itu juga dengan
pemberian pendidikan yamg berhubungan dengan sanitasi lingkungan.
Pengobatan
akibat dari infeksi cacing ini dapat dilakukan dengan pemberian obat
praziquantel. Ini merupakan obat yang efektif dan aman diberikan dengan dosis
tunggal 40 mg per kg berat badan, setealah makan. Efek sampingan berupa nyeri
abdomen, mual, muntah diare, nyeri otot, nyeri kepala, dan rash. Diberiakn
pencahar 4 jam setelah pemberian praziquantel dan akan mengeluarkan cacing
bersama tinja dalam 1-2 jam. Klorokuin menyembuhkan gejala ringan mengurangi
jumlah cacing. Selain itu obat-obat yang digunakan dalam penanganan
Ophisthorchiasis adalah Hexachlorophene,
Clioxanide, Dithiazanin Iodid, Hexachloparaxylene, Niiridazole.
2.2.2. Trematoda paru-paru
2.2.2.1. Paragonimus
westermanii
2.2.2.1.1. Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Kelas : Trematoda
Superfamily : Opisthorchioidea
Family : Troglotrematidae
Genus : Paragonimus
Spesies : Paragonimus westermani
2.2.2.1.2. Epidemiologi, distribusi geografis, dan
kondisi penyakit terkini
Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan
ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan
dengan cara masak ketam dan pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai
dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.
Distribusi geografis cacing ini
ditemukan di RRC, Taiwan, Jepang, Korea, Philipina, Thailand, India, Malaysia,
Afrika, Amerika Latin dan Vietnam. Di Indonesia ditemukan asli pada binatang sedangkan pada manusia
hanya sebagai kasus impor saja (Susanto, 2008).
2.2.2.1.3. Morfologi
Cacing dewasa panjangnya ± 1,2 cm,
seperti biji kopi, memiliki batil isap kepala dan batil isap perut, testis
berlobus tidak teratur, ovarium bercabang terletak anterior
Uterus
bersebelahan dengan ovarium berisi banyak telur, kelenjar vitelaria dari
anterior sampai posterior. Telur berukuran ± 90 x 40 mikron, operculum besar
dan mendatar, berisi morula.
Cacing dewasa berwarna merah kecoklatan, berukuran
12-18 x 4-6 mm. Pada saat aktif seperti sendok dengan ujung satunya berkontraksi
dan yang lainnya memanjang, bentuk pada saat kontraksi menyerupai biji kopi, membujur
dan pipih, kutikula berduri. Batil isap kepala besarnya sama dengan batil isap
perut. Batil isap perut terletak tepat di anterior garis anterior. Testis
berlobus dalam dan tidak teratur, terletak miring dan berada sepertiga bagian
dari posterior tubuh. Ovarium besar dan berlobus, terletak di sebelah anterior
testis, di sebelah kanan berhadapan dengan uterus yang berkelak-kelok. Telurnya
berbentuk lonjong dan berwarna kuning kecoklatan berukuran 95 x 45 mikron,
dinding dua lapis, pada salah satu ujung terdapat
operkulum besar dan ceper ( pendek ). Sedangkan pada ujung yang lain dinding
mengalami penebalan. Isi telur berupa morula (Muslim, 2009).
2.2.2.1.4. Siklus hidup
Siklus hidup cacing ini dimulai saat telur keluar
bersama tinja atau sputum yang berisi sel telur. Telur menjadi matang dalam waktu
kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium mencari keong air dan dalam keong
air terjadi perkebangan mirasidium menjadi serkaria, serkaria menjadi redia I
dan redia II lalu berkembang menjadi metaserkaria. Infeksi terjadi dengan makan
ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.
Serkaria
keluar dari keong air berenang mencari hospes perantara II yaitu ketam atau
udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya.
Dalam hospes definitive, metaserkaria menjadi
cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus,
masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan
reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus oleh kista, biasanya ditemukan
2 ekor di dalamnya (Hadidjaja, 2000).
2.2.2.1.5. Patologi
Gejala pertama saat ditemui infeksi dari cacing ini
dalam tubuh ialah di mulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan
menjadi batuk darah. Cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat –alat
lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut misalnya pada hati dan empedu. Saat
larva masuk dalam saluran empedu dan menjadi dewasa, parasit ini dapat
menyebabkan iritasi pada saluran empedu, penebalan dinding saluran, peradangan
sel hati dan dalam stadium lanjut akan menyebabkan sirosis hati yang disertai
oedema.
Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung
pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. Gejala
yang muncul dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Stadium
ringan : tidak ditemukan gejala.
2. Stadium
progresif : terjadi penurunan
nafsu makan, perut terasa penuh, diare.
3. Stadium
lanjut :didapatkan sindrom hipertensi
portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, oedema dan sirosis hepatis.
2.2.2.1.6. Pencegahan dan pengendalian
Pencegahan yang dapat dilakukan guna menghindari
infeksi cacing ini adalah dengan tidak memakan ikan atau udang atau kepiting
mentah. Apabila ingin menkonsumsi harus sudah dimasak secara sempurna sehingga
bisa dihindari dari terinfeksi oleh metaserkaria dalam ikan atau kepiting
tersebut.
Ketika
memasak setiap ikan, udang, keong, ketam
maupun kepiting harus diupayakan hingga matang dan menghindari memakannya
secara langsung (mentah). Pembuangan tinja dan sputum
pada tempatnya (jamban) juga dapat mengurangipenyebaran
cacing ini.
BAB III
KESIMPULAN
Trematoda yang hidup pada manusia
hidup sebagai parasit sehingga organ pencernaan, genital, dan beberapa bagian
lainnya mengalami kemunduran fungsional. Walaupun hanya beberapa
infeksi parasit yang menyebabkan kematian, tetapi banyak juga yang menunjukkan
angka kesakitan (morbiditas). Trematoda yang hidup dalam tubuh manusia dapat
digolongkan menurut tempat di mana ia hidup, meliputi trematoda usus, trematoda
darah, trematoda hati, dan trematoda paru-paru.
Spesies yang merupakan parasit dalam
darah meliputi :
1.
Schistosoma
japonicum
2.
Schistosoma mansoni
3.
Schistosoma haematobium
Spesies-spesies trematoda parasit
darah ini memiliki hospes definitif manusia. Berbagai macam binatang dapat
berperan sebagai hospes reservoir. Serkaria adalah bentuk infektif cacing schistosoma.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skitosomiasis atau bilharziasis. Cara
infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke
dalam air yang mengandung serkaria. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh
darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput
lender usus atau kandung kemih. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang
mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang.
Sejak larva masuk disaluran empedu
sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran
empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan
jaringan hati yang berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul sirosis hati disertai asites dan edema.
Spesies-spesies Trematoda yang
merupakan parasit dalam jaringan, seperti hati antara lain: Clonorchis sinensis, Opisthorcis felineus, Fasciola hepatica, Dicrocoelum
dendriticum, dan Opisthorcis viverni. Sedangkan trematoda parasit
paru-paru manusia adalah Paragonimus westermani. Dalam hospes defenitif, metaserkaria
menjadi cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus
dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Cacing
dewasa hidup dalam kista di paru-paru. Prazikuantel dan bitionol merupakan obat
pilihan yang baik untuk menanggulangi cacing ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Choi,
Dongil, et al. 2007. Imaging diagnosis of
clonorchiasis Department of Radiology, Samsung Medical Center Sungkyunkwan
University School of Medicine, Seoul 135-710, Korea. Department of Parasitology
and Tropical Medicine, Seoul National University College of Medicine, Seoul
110-799, Korea. The Korean Society of Parasitology.
Vol.45 (2)
Dinkes
Provinsi Sulawesi Tengah. 2006. Data
Surveilans Schsitosomiasis Tahun 2006. Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah
Hadidjaja,
P. 2000. Trematoda Darah Parasitologi
Kedokteran. Jakarta:FKUI
Jastal,
T.A. Garjito, S. Chadijah, Hayani, Mujiyanto. 2008. Laporan Survei di Dataran Tinggi Napu. Sulawesi Tengah : Loka
Litbang P2B2 Donggala
Kamaruddin,
Mufti dkk. 2001. Buku Ajar Parasitologi
Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
Muslim, M.
2009. Parasitologi Untuk Keperawatan Parasitologi
Kedokteran. Jakarta : EGC
Soedarto.
2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta
: Anggota IKAPI
Suhardono and D.B. Copeman, 2001,
Dinamika populasi siput Lymnaea rubiginosa di sawah padi dan
infeksinya oleh larva trematoda di Kecamatan Surade, Jawa Barat Population
Dynamics Of Snail Lymnae Rubiginosa In Rice Fields And Its Infection With Larvae Of Trematodes In The Subdistrict Of Surade, West Java, Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner 5(4): 241-249. JITV
Vol. 5. No.
Susanto, Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Tiuria,
Risa, dkk. 2008. Prevelance of Trematodes
in Javan Rhinocros and banteng at ujung kulon national park. ISSN :
1411-8327
0 comments:
Post a Comment