• Twitter
  • Facebook
  • Google+
  • Instagram
  • Youtube

Tuesday 19 November 2013

Tugas

TUGAS TERSTRUKTUR 
MATA KULIAH PARASITOLOGI
"TREMATODA PARASIT DARAH DAN JARINGAN"




                                                              

disusun oleh :
1.      Wilda Florent Siregar     (G1B012013)
2.      Ayu Fitriastuti                 (G1B012017)
3.      Ainun Zuhriyyah             (G1B012018)
4.      Ika Ayu Fitri W              (G1B012022)
5.      Irwan Nur Rizki              (G1B012028)
6.      Subhan Zainal A             (G1B012026)

                     KESMAS B






KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013





BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Trematoda berasal dari kata trematos, yang artinya berlubang dan berlekuk, yaitu cacing yang pada tubuhnya terdapat satu atau lebih bagian yang berlekuk untuk menempel pada hospesnya. Anggotanya terdiri dari cacing isap. Morfologi cacing ini berbeda-beda menurut cara hidupnya sebagai parasit. Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma) (Muslim, 2009).
Mempunyai batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh. Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetris bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari 1mm sampai kurang lebih 75mm. tanda khas lainnya adalah terdapat 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut. Pada umumnya trematoda tidak mempunyai alat pernapasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya (Muslim, 2009).
Spesies yang hidup pada manusia disebut sebagai endoparasit karena hidup di dalam organ viseral, misalnya dalam sistem pembuluh darah.    Trematoda yang hidup pada manusia hidup sebagai parasit sehingga organ pencernaan, genital, dan beberapa bagian lainnya mengalami kemunduran fungsional. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacam-macam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Walaupun hanya beberapa infeksi parasit yang menyebabkan kematian, tetapi banyak juga yang menunjukkan angka kesakitan (morbiditas).
Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing dalam tubuh hospes, selain itu ada juga pengaruh rangsangan setempat dan zat toksin di keluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat toksin, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Bila cacing hidup dijaringan paru seperti Paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan mungkin terjadi batuk darah (hemoptisis). Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, dapat menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainnya adalah peradangan hati sehigga terjadi hepatomegali. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi fibrosis jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain (Soedarto, 2008).
Salah satu jenis penyakitnya adalah skistomiasis. Skistomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing dari filum Platyhelmintes, kelas Trematoda, dan genus Schistosoma. Penyakit Schistosoma diperkirakan menyerang 200 juta orang dan terdapat di 72 negara di dunia ini, dari yang beriklim sedang sampai yang beriklim panas. Penyakit ini merupakan problema yang berat bagi kesehatan masyarakat dan sosioekonomi (Muslim, 2009).
Dalam beberapa dekade terakhir, telah disadari akan pentingnya tenaga yang terlatih dan ahli untuk mengerjakan prosedur diagnostik di bidang parasitologi. Suatu hal yang perlu diketahui dan dirasakan penting artinya dalam penanganan kasus penyakit parasit, yaitu metode diagnosis untuk menemukan parasit sebagai penyebab dan menentukan diagnosis akhirnya. Hal inilah yang menjadi dasar untuk mengetahui tentang morfologi, daur hidup, aspek klinis, dan diagnosis.
1.2.   Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1.        Mengetahui klasifikasi Trematoda darah dan jaringan
2.        Mengetahui epidemiologi Trematoda darah dan jaringan, beserta distribusi geografis dan kondisi penyakitnya
3.        Mengetahui morfologi dari Trematoda darah dan jaringan
4.        Mengetahui siklus hidup dari Trematoda darah dan jaringan
5.        Mengetahui patologi Trematoda darah dan jaringan
6.        Mengetahui pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabakan oleh Trematoda darah dan jaringan

BAB II
ISI
2.1     Trematoda Darah
2.1.1    Schistosoma japonicum
2.1.1.1   Klasifikasi
Kingdom       :           Animalia
Filum             :           Platyhelminthes
Kelas             :           Trematoda
Subkelas        :           Digenea
Ordo             :           Strigeidida
Genus            :           Schistosoma
Spesies          :           Schistosoma japonicum

2.1.1.2   Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar dengan prevalensi pada laki-laki umumnya lebih tinggi daripada wanita. Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai reservoir. Salah satu hewan yang penting adalah berbagai spesies tikus sawah (Rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Menurut Davis (1996), Schistosoma japonicum pertama kali ditemukan pada vena porta seekor kucing oleh Katsurada pada tahun 1904. Pada tahun 1909 sampai 1915 biologi cacing ini seperti siklus hidup dan patologinya telah digambarkan dan dijelaskan oleh peneliti Jepang dan peneliti-peneliti dari negara lainnya. Gambaran klinis penyakit ini diketahui pada permulaan tahun abad ke 20 di China dan Philipina sedangkan di Indonesia baru diketahui pada tahun 1930. Di Indonesia, siput Oncomelania ditemukan pada tahun 1971 oleh Carney. Siput tersebut dinamakan oleh Davis dan Carney tahun 1973 sebagai Oncomelania hupensis lindoensi (Hadidjaja, 2000).
Infeksi Schistosoma japonicum banyak terjadi di Timur Jauh, Cina, Indonesia, Jepang, dan Filipina. Schistosoma japonicum adalah satu-satunya trematoda darah pada manusia yang kebetulan ditemukan di China. Ini disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum, sehingga penyakit ini masih tetapmenjadi masalah kesehatan yang signifikan terutama di daerah danau dan tanah rawa.

Hospes definitifnya adalah manusia dan berbagai hewan seperti sapi, kerbau, domba, anjing, rusa, kucing, tikus sawah, babi hutan dan lain-lain. Sedangkan hospes perantaranya adalah keong air tawar dari genus Oncommelania sp. Spesies yang ada di Indonesia Oncomelania hupensis Indoensis (Muslim, 2009).
Schistosomiasis di Indonesia, terdapat disekitar Danau Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa (Propinsi Sulawesi Tengah) yang merupakan daerah penyebaran endemis di Indonesia. Penyakitnya Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania hupensis lindoensis yang ditemukan oleh Davis dan Carney, 1973 (Dinkes Sulteng, 2006).
Infeksi oleh cacing schistosomes diikuti dengan demam Katayama akut. Catatan sejarah penyakit Katayama menunjukan kembali penemuan Schistosoma japonicum di Jepang pada tahun1904.  Penyakit ini dinamai sesuai dengan daerah endemik tersebut yaitu Katayama, Hiroshima, dan Jepang. Jika tidak diobati, ia akan berkembang menjadi suatu kondisi kronis yang ditandai dengan penyakit hepatosclemic dan perkembangan fisik dan kognitif terganggu. Tingkat keparahan Schistosoma japonicum muncul dalam 60% dari semua penyakit saraf di Schistosomes karena migrasi telur ke otak.
Distribusi geografik bagi schistosomiasis berlainan  bagi trematoda darah, antar lain untuk Schistosoma japonicum di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah lain di Timur Jauh yang bersifat endemik dan enzootik.
Penelitian schistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940 yaitu sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di Tomado, Dataran Tinggi Lindu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940 Sandground dan Bonne mendapatkan 53% dari 176 penduduk yang diperiksa tinjanya positif ditemukan telur cacing (Jastal, 2008).
Secara keseluruhan penduduk yang berisiko tertular schistosomiasis (population of risk) sebanyak 15.000 orang. Di Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan endemik tinggi di daerah Danau Lindu. Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja terdapat infeksi S. japonicum 53 % dari 126 orang penduduk pada usia antara 7-70 tahun, dan di lembah Napu dilaporkan infection rate 8 dan 12%  pada dua desa serta 7%  pada tikus liar (Dinkes Sulteng, 2006).
Kondisi penyakit terkini di beberapa daerah yang telah dilakukan penelitian terhadap penyebaran penyakit ini seperti di Dataran Tinggi Napu, prevalensi schistosomiasis pada manusia selama 5 tahun terakhir (2003-2007) yaitu berturut-turut 0,63%, 0,52%, 0,64%, 1,21%, 1,14%. Di Dataran Tinggi Napu juga pada tahun 2008 yaitu 2,4%,  tetapi masih lebih rendah dibandingkan di Cina pada tahun 2003 yaitu 92,74% dan di Propinsi Jiangxi, China pada tahun 2005 yaitu 18,08%.  Fluktuasi ini disebabkan antara lain karena cakupan pemeriksaan tinja yang bervariasi (Jastal, 2008).
2.1.1.3   Morfologi
Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm. Integument ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis (Muslim, 2009).
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas di daerah lateral, pada  ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur (Susanto, 2008).
Morfologi telurnya berhialin, subsperis atau oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutubnya terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol). Telur berukuran 70-100 x 50-65 µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan pada  vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur S. japonicum biasa pada percabangan  vena mesentrica superior yang mengalirkan darah dari usus halus (Muslim, 2009).

2.1.1.4   Siklus hidup
Siklus hidup Schistosoma japonicum, dimulai ketika terjadi proses infeksi pada manusia. Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cercaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk kemudian ditemukan di dalam tinja. Telur menetas dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong O.h. lindoensis dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan cercaria (Kamarudin, 2001).
Patogenesis Schistosoma japonicum, akan menyebabkan perubahan-perubahan karena infeksi tiga stadium cacing Schistosoma japonicum yaitu cercaria, cacing dewasa dan telur. Pada saat cercaria menembus kulit terjadi perubahan pada kulit berupa eritema dan papula. Perubahan tersebut disertai rasa gatal dan panas. Bila cercaria yang masuk ke dalam kulit dengan jumlah yang banyak, maka akan terjadi dermatitis. Gejala paru timbul ketika schistosomula mencapai paru yaitu dengan timbulnya batuk dan terkadang disertai dahak. Pada beberapa kasus, terkadang batuk bercampur dengan sedikit darah. Gejala paru tersebut dapat menjadi berat sehingga timbul serangan asma (Soedarto, 2008).
Manifestasi toksik mulai timbul antara minggu ke-2 sampai minggu ke-6 setelah terjadi infeksi. Pada stadium ini timbul gejala seperti lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh dan diare. Beratnya gejala tergantung dari banyak atau sedikitnya cercaria yang masuk. Pada infeksi yang cukup berat dapat timbul demam tinggi. Sedangkan stadium akut dimulai sejak cacing betina bertelur. Gejala berat yang timbul adalah hepatomegali dan splenomegali yang timbul 6-8 bulan setelah cercaria masuk (Kamarudin, 2001).
Stadium menahun terjadi pada stadium lanjut. Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gejala yang timbul yaitu splenomegali, edema pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditentukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan karena pecahnya varises pada esofagus (Kamarudin, 2001).
2.1.1.5   Patologi
Jika cacing ini menulari manusia, maka akan menyebabkan penyakit schistosomosis, skistosomiasis japonika, penyakit katayama atau penyakit demam keong yang menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di Asia dan Afrika. Seseorang yang menderita penyakit ini akan mengalami kerusakan hati, kelainan jantung, limpa, ginjal, dan kantung kemih (Soedarto, 2008).
Jika terjadi infeksi oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit tergantung kepada parasit yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium proliferasi jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi migrasi dan pematangan  (stadium inkubasi), lesi yang mungkin timbul terdiri atas :
1.        Dermatitis, pada tempat penetrasi serkaria, tampak pada 24-36 jam setelah infeksi, tidak diikuti infiltrasi seluler yang istimewa,
2.        Perubahan pada paru-paru akibat trauma dan infiltrasi, berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal eosinofil, terdapat sel epiteloid dan giant cells sekeliling pembuluh darah pulmoner pada migrasi larva yang lemah,
3.        Hepatitis akut mengikuti masuknya larva serta selama pertumbuhannya dalam pembuluh darah portal intrahepatik,
4.        Hiperemi pada dinding usus halus mengikuti masuk serta pematangan cacing pada vena mesentrica superior,
5.        Trauma dengan perdarahan setelah telur diletakkan oleh cacing betina, melepaskan diri dari venule kemudian menembus sub mukosa dan mukosa intestinal masuk ke dalam lumen usus, dan
6.        Biasanya ditandai dengan meningkatnya eosinofil dalam perdaran darah sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic patologi akibat absorbsi sistemik dari metabolit cacing.
2.1.1.6   Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian dan pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti berikut :
1.        Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara penularan dan cara pemberantasan penyakit ini.
2.        Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara. Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan tetapi biasanya tidak praktis.
3.        Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan mengalirkan air.
4.        Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).
5.        Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria (Tiuria, 2008).
2.1.2   Schistosoma mansoni
2.1.2.1   Klasifikasi
Kingdom       :           Animalia
Filum             :           Platyhelminthes
Kelas             :           Trematoda
Subkelas        :           Digenea
Ordo             :           Strigeidida
Genus            :           Schistosoma
Spesies          :           Schistosoma mansoni
2.1.2.2   Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
Penyakit oleh S. mansoni dinamakan schistosomiasis mansoni, manson’s intestinal  schistosomiasis atau bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber manusia yang lain, walaupun kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang ditemukan terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar secara geografis di Afrika dan Brazil serta daerah lainya yaitu Mesir, Puerto Rico dan Venezuela (Susanto, 2008).
Habitat pada vena mesentrica inferior yang mengalirkan darah dari usus besar dan segmen posterior ileum. Telur ditimbun pada venule di submukosa usus, sebagai hospes definitif, disamping pada manusia  juga pada kera dan rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara siput air tawar genus Biomphalaria, Australorbis, Tropicobis, terutama  Biomphalaria glabrata dan Biomphalaria. Keong air tawar yang merupakan hospes perantara, seperti Biomphalaria di Afrika dan Biomphalaria (Australorbis) dan Tropicorbis di Amerika Selatan dan Hindia Barat. Binatang mengerat, kera dan “babbon” di alam mengandung cacing ini. Nama penyakit yang diakibatkan dari cacing ini adalah skistosomiasis usus, atau bilharzizsis intestinalis, dan disentri schistosoma. Penyakit schistosomiasis akibat cacing ini tidak ditemukan di Indonesia, yang banyak ditemukan di Indonesia adalah schistosomiasis akibat S. japonicum (Kamarudin, 2001).
2.1.2.3   Morfologi
Morfologi cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm, tuberkulasi jelas, duri kasar, testis 6-9 buah, pinggir lateral saling mengunci oleh duri acuminate, pada tempat ini lebih panjang dari tepat lain. Cacing betina panjangnya 7,2-17 mm, letak ovarium di anterior pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria memenuhi pinggiran lateral dan pertengahan tubuh, uterus pendek diisi beberapa butir telur (1-4 butir) (Susanto, 2008).
 Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan S. Haematobium dan S.japonicum. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru, dan otak.


2.1.2.4   Siklus hidup
Siklus hidup S. mansoni, pada kondisi yang menguntungkan, waktu minimum yang dibutuhkan ± 4 minggu. Serkaria memiliki beberapa pasang kelenjar penetrasi pada bagian kepalanya, menembus kulit hospes pada lipatan, lubang rambut atau dibawah selaput tanduk. Perjalanan selanjutnya sama dengan S. japonicum.
Setelah telur manusia yang tinggal dipancarkan parasit dalam kotoran dan masuk ke dalam air, masak miracidium menetas keluar dari telur. Yang menetas terjadi sebagai respons terhadap suhu, cahaya dan pengenceran dari kotoran dengan air. Setelah ini, parasit berkembang melalui apa yang disebut sporocyst ibu dan anak sporocyst, generasi ke generasi cercaria. Tujuan dari pertumbuhan bekicot adalah perkalian numerik dari parasit. Dari satu hasil miracidium beberapa ribu cercaria, setiap spesies mampu menginfeksi manusia. Serkaria muncul dari bekicot selama siang hari dan mereka mendorong diri mereka dalam air dengan bantuan ekor mendua mereka, secara aktif mencari tuan rumah terakhir mereka.Ketika mereka mengenali kulit manusia, mereka menembus itu dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini terjadi dalam tiga tahap, lampiran awal pada kulit, diikuti oleh serkaria merayapi kulit mencari situs yang cocok penetrasi, sering sebuah folikel rambut, dan akhirnya penetrasi ke dalam epidermis kulit menggunakan cairan proteolitik dari pasca-cercarial acetabular, kemudian pra-acetabular kelenjar (Susanto, 2008).
Pada penetrasi, kepala sercaria berubah menjadi sebuah endoparasitic larva, yang schistosomule. Setiap schistosomule menghabiskan beberapa hari di kulit dan kemudian memasuki sirkulasi dimulai pada dermal dan venula limfatik. Di sini mereka makan darah, muntah yang haem sebagai haemozoin. Schistosomule bermigrasi ke paru-paru (5-7 hari pasca-penetrasi) dan kemudian bergerak melalui sirkulasi melalui sisi kiri jantung ke sirkulasi hepatoportal (> 15 hari ) di mana, jika bertemu dengan pasangan lawan jenis, itu berkembang menjadi dewasa secara seksual dan pasangan mesenterika bermigrasi ke pembuluh darah.
S. mansoni parasit yang ditemukan terutama di mesenterika inferior kecil pembuluh darah sekitar usus besar dan daerah sekum host. Setiap betina meletakkan telur sekitar 300 hari (satu telur setiap 4,8 menit), yang disimpan pada lapisan endotel dinding kapiler vena. Sebagian besar massa tubuh perempuan schistosomes dikhususkan untuk sistem reproduksi. Mengkonversi wanita hampir setara dengan tubuhnya sendiri ke dalam telur berat kering setiap hari. Telur pindah ke lumen usus inang dan dilepaskan ke lingkungan dengan kotoran (Muslim, 2009).
2.1.2.5   Patologi                                                                                                                          
Efek patologi dari cacing ini sangat bergantung pada spesiesnya. Progresifitas dari penyakit cacing ini ada tiga fase yaitu:
1.    fase awal, selama 3-4 minggu setelah infeksi yang menunjukkan gejala demam, toksik dan alergi.
2.    fase intermediate sekitar 2,5 bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi, yaitu adanya perubahan patologi pada saluran pencernaan dan saluran kencing dan waktu telur cacing keluar tubuh.
3.    fase terakhir, adanya komplikasi gastro-intestinal, renal dan sistem lain, sering tak ada telur cacing yang keluar tubuh. Proses permulaan dari fase dari spesies cacing ini adalah demam yang berfluktuasi, kulit kering, sakit perut, bronchitis, pembesaran hati dan limpa serta gejala diaree.
Kerusakan yang nyata disebabkan oleh telur cacing, dimana S. mansoni , usus besar lebih terpengaruh. Telur terdapat dalam venula dan submukosa yang bertindak sebagai benda asing, sehingga menyebabkan reaksi radang dengan laukosit dan infiltrasi fibroblast. Hal tersebut menimbulkan nodule disebut pseudotuberkel, karena nodule yang disebabkan reaksi jaringan.
Abses kecil akan terbentuk sehingga menyebabkan nekrosis dan ulserasi. Sering ditemui adanya sel eosinofil dalam jumlah besar dalam darah dan diikuti penurunan jumlah sel radang. Banyak telur terbawa kembali ke dalam jaringan hati dan menumpuk dalam kapiler hati sehingga menimbulkan reaksi sel dan terbentuk nodule pseudotuberkel. Hal tersebut menimbulkan reaksi pembentukan sel fibrotik (jaringan ikat) di dalam hati dan menyebabkan sirosis hepatis dan mengakibatkan portal hipertensi. Pembengkakan limpa terjadi karena kongesti kronik dalam hati. Karena terjadinya kongesti pembuluh darah viscera mengakibatkan terjadinya ascites. Sejumlah telur cacing dapat terbawa ke dalam paru-paru, sistem saraf dan organ lain sehingga menyebabkan terbentuknya pseudotuberkel di setiap lokasi tersabut (Soedarto, 2008).
2.1.2.6   Pencegahan dan pengendalian
Upaya pencegahan penyakit yang disebabkan oleh parasit ini hampir sama dengan pola pencegahan infeksi S japonicum. Pada prinsipnya penggunaan Moluscisida pada beberapa keadaan dapat efektif mengurangi atau secara lengkap memutuskan transmisi parasit, akan tetapi membutuhkan waktu lama. Program kesehatan masyarakat dengan menyediakan tempat mandi umum, mencuci pakaian serta sistem pembuangan yang sehat memberikan pencegahan yang baik.
Obat-obat lainnya yaitu Stibofen (Fuadin), pemberian intramuscular dalam larutan 6,3% 40-75 ml yang diberikan dalam 10-16 kali pemberian. Niridazole (CIBA 32.644 Ba atau Ambilhar) efektif mengobati Schistosomiasis mansoni dengan dosis perhari 25 mg/kgBB, diberikan dalam waktu 5-10 hari. Obat lainnya yang cukup baik adalah nitroquinoline, Oxamniquine, yang diberikan per-oral. Dosis optimim belum dapat ditentukan, disarankan dosis 15 mg/kgBB dalam dosis tunggal. Niridazole lebih efektif pada anak-anak daripada Oxamniquine yang efektif pada orang dewasa. Pengobatan  dengan Praziquantel aman dan efektif pada dosis tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz merupakan obat baru yang dilaporkan juga efektif untuk Skistosomiasis mansoni (Soedarto, 2008).
2.1.3.3      Schistosoma haematobium
2.1.3.1   Klasifikasi
Kingdom       : Animalia
Phylum          : Platyhelminthes
Class             : Trematoda
Subclass        : Digenea         
Order            : Strigeidida             
Genus           : Schistosoma
Species          : S. haematobium
2.1.3.2.  Epidemiologi, Distribusi geografik, dan kondisi penyakit
Tentang penyebaran Schistosoma haematobium manusia bergantung pada variasi hospes keong air. Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, kera dan baboon, Sedangkan hospes perantara dari S. Haematobium adalah keong yaitu dari genus Bulinus sp, Physopsis sp, dan Biomphalaria sp. Penyakit yang disebabkan oleh S. haematobium adalah skistosomiasisvesikalis, hematuriskistosoma, bilharziasis urinarius.karena S. haematobium akan tinggal di pembuluh darah vena sekitar kandung kemih, panggul, uterus dan prostat. Schistosoma haematobium sangat endemis di seluruh lembah Sungai Nil dan boleh dikatakan telah menyebar di seluruh Afrika, Pulau Malagasi, dan Mauritius. Sarang endemis ditemukan di Israel, Jordania, Syria, Irak, Arab, Yaman, dan daerah kecil pantai barat India. Di Mesir dan bagian lain Benua Afrika sebanyak 75-95% penduduk telah terkena infeksi. Kera dan babon mendapat infeksi alami, tetapi hal ini mungkin tidak penting untuk penyebaran infeksi (Kamarudin, 2001).

Penyebaran di Indonesia terdapat di sekitar danau Lindu Sulawesi Tengah. Distribusi Schistosoma haematobium sebagian besar di Sub-Sahara, di lembah Sungai Nil, di Afrika, negara utara lainnya, dan di Timur Tengah. Schistosoma japonicum adalah jenis parasit yang terdapat di Asia dari timur, di Cina, dan Filipina. Upaya pencegahan yang dilakukan prinsipnya sama dengan pencegahan pada kasus Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni.
Spesies ini merupakan trematoda darah yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis vesikalis (penyakit parasit pada organ genitourinari), schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis, dan schistosomal hematuria. Schistosomiasis haematobium  sering  terjadi di hulu Sungai Nil. Sebagian besar Afrika termasuk kepulauan  di Pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa, Asia barat dan India. Cacing jenis ini tidak dapat ditemukan di Indonesia. Hospes definitifnya adalah manusia. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai hospes reservoar.  Cacing ini menyebabkan skistosomiasis kandung kemih.
2.1.3.3.  Morfologi
Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum (Muslim, 2009).
Cacing jantan, gemuk, berukuran 10-15 x 0,8-1 mm. Dengan ditutupi integumen tuberkulasi kecil, memiliki 2 batil isap berotot, yang ventral lebih besar. Di sebelah belakang batil isap ventral, melipat ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis di belakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar.
Porus genitalis tepat di bawah batil isap ventral. Sedangkan cacing betina, panjang silindris, ukuran 20 x 0,25 mm. Batil isap kecill, ovarium terletak posterior dari pertengahan tubuh.
Uterus panjangnya sekitar 20-30 telur berkembang pada satu saat dalam uterus. Oviposisi biasa terjadi dalam venule kecil pada vesica urinaria dan pelvicus seperti venule rectalis. Tempat-tempat ektopik ditemukan pada kelenjar prostat dan jaringan subkutan lipat paha dan skrotum, jaringan kulit sekitar umbilikus, konjungtiva dan kelenjar lakrimalis (Muslim, 2009).
2.1.3.4.  Siklus hidup
Orang yang terinfeksi buang air kecil atau buang air besar di air. Air kencing atau kotoran mengandung telur cacing. Telur cacing menetas dan cacing pindah ke keong. Cacing muda pindah dari keong ke manusia. Dengan demikian, orang yang mencuci atau berenang di air di mana orang yang terinfeksi pernah buang air kecil atau buang air besar, maka ia akan terinfeksi (Susanto, 2008).
Cacing atau serkaria (bentuk infektif dari cacing Schistosoma) menginfeksi dengan cara menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri, kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. 

Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah berkopulasi. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air dan larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium ini kemudian masuk ke tubuh keong air dan berkembang menjadi serkaria (Susanto, 2008).    
2.1.3.5.  Patologi
Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk  ke dalam pembuluh darah kulit. Lebih kurang lima hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena porta dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi, pematangan cacing dimulai sejak keluar dari vena porta. Setelah 10-12 minggu cacing betina mulai meletakkan telur pada venule.
Pada schistosomiasis vesicalis, primer kerusakan jaringan pada dinding vesica urinaria, sekunder pada bagian distal ureter, organ urinarius dan genital yang berdekatan atau rectum dan akhirnya pada paru-paru dan organ yang lebih jauh. Bila jumlah telur lebih banyak maka akan diinfiltrasi dan ditahan dalam jaringan, menjadi pusat pembentukkan pseudoabses. Abses dekat lumen vesica urinaria atau organ lain, mungkin pecah dan mengeluarkan telurnya , berlanjut dengan pembentukkan jaringan fibrosis berakhir dengan pembentukan pseudotuberkel yang akhirnya akan terjadi fibrosis seluruh organ. Efek S.haematobium terdiri atas:
1.    Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang sedang tumbuh dan matang,
2.    Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule,
3.    Pembentukkan pseudoabses dan psudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskular, dan
4.    Obstruktif uropati. Aspek klinik infeksi terbagi menjadi tiga periode : masa inkubasi,  deposisi dan ekstruksi telur, proliferasi jaringan dan perbaikan.
Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi dan  pembentukkan pseudotuberkel pada sekeliling telur diikuti: (1) hyperplasia dan fibrosis umum dinding vesica dan ureter bagian bawah.(2) infeksi sekunder. Gejalanya berupa sistitis kronis. Pemeriksaan sitoskopis menjadi lebih sulit. Lesi yang terjadi pada laki-laki dapat sampai penis dan elephantiasis organ akibat penyumbatan limphaticus scrotalis. Lesi pada wanita biasanya kurang berat meskipun serviks, vagina dan vulva mungkin dikenai (Soedarto, 2008).
2.1.3.6.  Pencegahan dan pengendalian                                                                         
Upaya untuk mengurangi  sumber infeksi dari cacing ini dilakukan dengan pengobatan penderita, terutama pengobatan massal di daerah endemik. Dapat dilakukan pencegahan dengan tiga program, yaitu: 1) eradikasi tuan rumah molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi, dengan penanganan air dan kampanye moluscasida pada daerah endemik, 2) perbaikan sanitasi lingkungan untuk mengurangi kepadatan habitat siput di mana  telur  schistosoma dikeluarkan pada urine dan feses manusia yang merupakan sumber infeksi untuk siput, 3) pengobatan secara efektif pada penderita terutama carrier untuk mengurangi kontaminasi pada air.
Sebelum dilakukan pengobatan kemoterapi untuk skistosomiasis, sebaiknya dilakukan perbaikan gizi penderita. Pada kasus Schistosoma haematobium, obat yang memberi hasil sangat efektif adalah kalium dan antimonium tartrat secara intravena pada dosis maksimum dan teratur.
2.2    Trematoda Jaringan
2.2.1. Trematoda hati
2.2.1.1. Clonorchis sinensis
2.2.1.1.1.  Klasifikasi

Kingdom    :           Animalia

Phylum       :           Platyhelminthes

Kelas           :           Trematoda

Ordo           :           Opisthorchiida

Family         :           Opisthorchiidae

Genus         :           Clonorchis

Spesies        :           Clonorchis sinensis
2.2.1.1.2.  Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
Manusia biasanya terkena infeksi bilamana makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria dan kadang-kadang tertelan kista yang terdapat di dalam air minum. Jumlah oramg yang terkena infeksi tergantung pada kebiasaan cara makan mereka, dan tidak selalu berbanding lurus dengan frekuensi parasit di dalam hewan sebagai reservoir.
Distribusi geografik cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autotokton. Cacing ini pertama ditemukan di Kalkuta India pada seorang tukang kayu suku cina pada tahun 1875. Infeksi lain ditemukan di Hong-Kong dan Jepang. Dewasa ini diketahui bahwa “chinese liver fluke” tersebar secara luas di Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan Vietnam. Diperkirakan sekitar 19 juta orang terinfeksi cacing di Asia Timur tahun 1947, yang mungkin akan menjadi lebih banyak lagi dewasa ini. Cacing berukuran panjang 8-25 mm dan lebar 1,5-5 mm (Hadidjaja, 2000).
Hospes definitif parasit ini terutama manusia dapat juga kucing dan anjing. Membutuhkan dua hospes perantara , yaitu hospes perantara I siput air tawar genus Bulimus, Parafossarulus, Alocinma serta spesies Melanoides tuberculatus mungkin juga dari genus Thiara, Semisulcospira. Dan yang bertindak sebagai hospes perantara II adalah ikan dari family Cyprinidae (terutama di Jepang), Salmonidae, Gobiidae, dan Anabantidae.
2.2.1.1.3    Morfologi
Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang di tetemukan di saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm dengan integument tidak berduri, bentuknya pipih, lonjong, memanjang, transparan, menyerupai daun dengan bagian posterior membulat. Telur berukuran kira-kira 30x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan di saluran empedu (Susanto, 2008).
Batil isap kepala sedikit lebih besar daripada batil isap perut dan terletak 1/3 anterior tubuh. Gambaran khas pada besar dan dalamnya lekuk lobus/cabang testis, dengan cabang ke lateral.


Letak testis berurutan, sebelah posterior dan ovarium yang lebih kecil dan juga berlobus. Ovarium ini terletak di garis tengah, pada pertemuan 1/3 posterior dan 1/3 tengah tubuh. Uterus tampak berkelok-kelok, bermuara pada porus genitalis berdampingan dengan muara alat kelamin jantan (Susanto, 2008).
Telur berbentuk oval dengan ukuran (28-35) x (12-19) m, ukuran dinding sedang, memiliki poerkulum konvex, bagian posterior menebal. Telur ini diletakkan dalam saluran empedu dalam keadaan sudah matang kemudian keluar bersama tinja dan baru menetas jika ditelan tuan rumah perantara I. telur dalam tinja dapan bertahan selama 2 hari dalam suhu 26’C dan 2 hari pada 4-8’C (Kamarudin, 2001).
2.2.1.1.4.    Siklus hidup
Cacing dewasa hidup di saluran empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000 butir/hari sampai 6 bulan. Telur yang telah masak berwarna  kuning coklat dan akan menetas bila dimakan oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes intermedier ke 1. Telur menetas keluar merasidium yang akan berubah menjadi sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ lain siput dalam waktu 4 jam setelah infeksi (Muslim, 2009).
Sporocyst memproduksi redia dalam waktu 17 hari, dan setiap redia memproduksi 5-50 serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekork, kemudian keluar dari siput berenang dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam kedasar air. Bila menemukan ikan sebagai hospes intermediet ke 2, cercaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut menjadi metacercaria.
 Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C. sinensis ini terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metacercaria juga dapat menginfeksi jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan Palaemonetes.
Cacing dewasa hidup di saluran empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000 butir/hari sampai 6 bulan. Telur yang telah masak berwarna  kuning coklat dan akan menetas bila dimakan oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes intermedier ke 1. Telur menetas keluar merasidium yang akan berubah menjadi sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ lain siput dalam waktu 4 jam setelah infeksi. Sporocyst memproduksi redia dalam waktu 17 hari, dan setiap redia memproduksi 5-50 serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekork, kemudian keluar dari siput berenang dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam kedasar air. Bila menemukan ikan sebagai hospes intermediet ke 2, cercaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut menjadi metacercaria. Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C. sinensis ini terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metacercaria juga dapat menginfeksi jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan Palaemonetes (Muslim, 2009).
Hospes definitif (orang) akan terinfeksi oleh cacing ini bila makan ikan/udang secara mentah-mentah/dimasak kurang matang. Dalam keong air (Bulinus Semisulcospira), mirasisium berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yaitu ikan (Family Ciprynidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik.Kista ini disebut metaserkaria. (Susanto, 2008)
Perkembangan dalam tubuh ikan berlangsung selama 23 hari.Jika daging ikan yang mengandung cacing kista tersebut (kista) dimasak kurang sempurna, jika dimakan hospes maka di dalam duodenum, larva keluar dari kista, masuk ke dalam saluran empedu sebelah distal dan cabang-cabangnya melalui ampulla Vateri. Untuk menjadi cacing dewasa dibutuhkan waktu 1 bulan, sedangkan seluruh siklus diperlukan kurang lebih 3 bulan.
Hewan yang dapat terinfeksi C. sinensis ini adalah babi, anjing, kucing, tikus dan unta. Hewan laboratorium seperti kelinci dan marmot sangat peka terhadap infeksi cacing ini. Metacercaria menjadi cacing muda pada dinding duodenum dan bermigrasi ke hati melalui saluran empedu. Cacing muda ditemukan didalam hati dalam waktu 10-40 jam setelah infeksi (pada hewan percobaan). Cacing tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi telur dalam waktu sekitar 1 bulan, sedangkan daur hidup secara komplit dalam waktu 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup selama 8 tahun pada tubuh orang (Muslim, 2009).
2.2.1.1.5.   Patologi   
Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu. Pengaruhnya terutama bergantung  pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi.Untungnya jumlah cacing yang menginfeksi biasanya sedikit. Pada daerah endemik jumlah cacing yang pernah ditemukan sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan terjadinya penebalan epithel empedu sehingga dapat menyumbat saluran empedu. Pembentukan kantong-kantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan parenkim hati dapat merusak sel sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang kemudian dikelilingi jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi hati.
Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada hubungannya antara infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum dapat dipastikan. Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh obstruksi saluran empedu oleh telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal ini perlu penelitian lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis.
Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran dan perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Gejala dibagi 3 stadium: stadium ringan tidak ada gejala, stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, diare, edema, dan pembesaran hati, dan stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri dari pembesaran hati, edema, dan kadang-kadang menimbulkan keganasan dalam hati yang dapat menyebabkan kematian.

2.2.1.1.6    Pencegahan dan pengendalian
Pencegahan penularan cacing Chlonorsis sinensis pada manusia dapat dilakukan dengan cara memutus rantai hidup cacing ini, meliputi :
1.    Tindakan pengendalian industri, pembuangan ekskreta dan air limbah/khusus kotor yang aman untuk mencegah kontaminasi pada air sungai, pengolahan air limbah untuk keperluan akuakultur, iradiasi ikan air tawar, pembekuan dingin, perlakuan panas, misalnya pengalengan.
2.    Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga, memasak ikan air tawar sampai benar-benar matang. Konsumen harus menghindari konsumsi ikan air tawar yang mentah atau kurang matang.
Pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan, pengobatan pada masyarakat yang terinfeksi untuk mengurangi reservoir infeksi, pemberantasan anjing dan kucing liar.Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman.
Upaya yang lain adalah dengan menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air. Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan obat cacing. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit. Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.

2.2.1.2.   Opisthorchis felineus
2.2.1.2.1   Klasifikasi
Kingdom                :    Animalia
Filum                      :    Platyhelminthes
Kelas                       :    Trematoda
Subkelas                 :    Digenea     
Ordo                       :    Plagiorchiida          
Subordo                  :    Opisthorchiata
Superfamili             :    Opisthorchioidea
Famili                      :    Opisthorchiidae
Genus                     :  Opisthorchis               
Spesies                    :  Opisthorchis felieus
2.2.1.2.2   Epidemiologi, distribusi geografik, dan  kondisi penyakit

Cacing ini tersebar di Eropa Timur, Eropa Tengah, Eropa Selatan, Asia, Vietnam, dan India, Daerah yang sangat endemis adalah Polandia, Donetz, dan Desna Basin. Penyebaran parasit ini umumnya berhubungan dengan kondisi dan fasilitas kebersihan yang buruk, kebiasaan maka ikan mentah dan adanya perkembangan sanitasi irigasi misalnya bendungan. Sehingga musim hujan tinja penderita mencemari kolam dan sungai sehingga ikan dan siput dapat berkembang biak.
Diperkirakan bahwa 12,5 juta orang yang tinggal di negara – negara Uni soviet beresiko untuk opisthorchiasis, kebetulan hati infeksi yang disebabkan oleh ikan tawar menelan infeksi dengan metaserkaria dari Opisthorchis felineus (Kamarudin, 2001).
Hospes definitif cacing ini adalah kucing, anjing, manusia, anjing hutan, dan babi. Cacing dewasa hidup ini di dalam saluran empedu dan saluran pancreas hospes definitif. Hospes perantara I-nya adalah keong air tawar dan genus Bulinus, sedangkan hospes perantara II-nya adalah spesies ikan Cypirinde. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut opistorkiasis.
2.2.1.2.3.   Morfologi

Cacing dewasa berwarna kemerahan berukuran sekitar 12 x 3 mm dan terdapat dua alat isap yaitu isap mulut dan ventral.Cacing ini memiliki testes yang padat dan berlobus yang terletak di bagian posterior sedangkan ovarium berlobus melingkar dan berisi telur.Terdapat pula sekum yang panjang mencapai ke ujung bagian posterior dari tubuh serta viteralia yang kecil terletak di bagian lateral dari pertengahan tubuh.
Telurnya berbentuk oval seperti kendi, lebih kecil dan ujungnya lebih menyempit, ukurannya 298 x 16 mikron, bagian posterior menebal, operculum besar, pinggirnya kurang jelas dan isi telur berupa mirasidium (Soedarto, 2008).
2.2.1.2.4.   Siklus hidup
Telur keluar bersama tinja penderita, masuk ke dalam air, lalu di makan siput.Di dalam tubuh siput menetas menjadi mirasidium, lalu berkembang menjadi sporokista, redia, serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh siput, berenang mencari ikan sebagai hospes perantara kedua.
Serkaria berkembang menjadi metaserkaria lalu membentuk kista yang efektif bagi hospes definitif. Apabila kista metaserkaria termakan oleh hospes definitif, cacing muda keluar dari kista menuju duodenum atau saluran empedu. Cacing menjadi dewasa dalam waktu 3 minggu sampai 4 minggu (Muslim, 2009).
2.2.1.2.5.   Patologi
Patologi cacing ini sama seperti pada Clonorchis. Ditemukannya telur yang khas di tinja atau drainage duodenum merupakan diagnosis pasti. Infeksi dapat dicegah dengan masak ikan dan membuang tinja menurut cara-cara sanitasi.
Mulai pada perkembangan larva masuk di saluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi saluran empedu dan penebalan dinding saluran.Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut di dapatkan sindrom hipetensi portal yang terdiri atas pembesaran hati, ikterus, asites, edema, dan sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati.          
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau cacing duodenum.Pada daerah endemis yang penduduknya gemar makan ikan mentah, diagnosis klinis dapat diduga apabila penderita mengalami hepatomegali dan hepatitis.Apabila terjadi infeksi lanjutan, gejala sebelumnya harus dapat dibedakan dengan tumor ganas dan sirosis hati (Choi, 2007).
2.2.1.2.6.   Pencegahan dan pengendalian
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang berbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum. Penyakit ini dapat diobati dengan parazikuantel. Mengurangi sumber infeksi dengan melakukan pengobatan pada penderita. Menghindarkan penularan melalui ikan dengan  memasak sempurna, pengasinan, pendinginan atau pemberian cuka bagi ikan yang akan dimakan, selain itu diperlukan pendidikan yang berhubungan dengan sanitasi.        
2.2.1.3       Fasciola hepatica
2.2.1.3.1. Klasifikasi
Kingdom                   :           Animalia
Filum                         :           Platyhelminthes
Kelas                         :           Trematoda
Ordo                          :           Echinostomida
Genus                        :           Fasciola          
Spesies                      :           Fasciola hepatica
2.2.1.3.2.  Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
Penyakit ini disebabkan oleh trematoda hati Fasciola hepatica. Cacing ini kosmopolit terutama di negara yang banyak petrnakan besar (terutama ternak biri-biri). Infeksi pada manusia sering terjadi di Kuba, Perancis, Inggris, dan Aljazair. Penyebaran geografis cacing ini di seluruh dunia terutama di daerah peternakan domba, lembu, dan biri-biri. Di daerah Amerika Latin, Perancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasioliasis pada manusia (Susanto, 2008).
Hospes definitive parasit ini adalah manusia, kambing, dan sapi. Sedangkan hospes perantaranya adalah keong air (Lymnea) merupakan hospes I dan tumbuhan air merupakan hospes II. Nama penyakit yang disebabkan oleh parasit ini adalah fascioliasis.
Penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di Indonesia ditemukan hampir di seluruh daerah, terutama di daerah yang basah. Tingkat morbiditas dilaporkan 50-75 %, rata-rata 30 %. Dilaporkan bahwa 2,5 juta orang telah terinfeksi di 61 negara terutama dari Bolivia, Peru, Mesir, Iran, Portugal, dan Perancis, dan bahwa lebih dari 180 juta orang beresiko. Di sebelah utara Iran, berdasarkan penelitian carpological menunjukkan sekitar 7.3 dan 25,4% prevalensi global pada ternak domba. Fasciola hepatica umumnya ditemukan di Negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New ZealandCHEN don MOTT (1990), mengatakan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1990, telah terjadi kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh F. hepatica pada 2594 orang di 42 negara. menurut HOPKINS (1992), penderita fasciolosis adalah sekitar 17 juta orang di seluruh dunia (Suhardono, 2001).
Distribusi geografis di wilayah USA adalah Florida, Mississippi selatan drainase, barat laut negara dan California. Fascioliasis di Indonesia hanya disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica dan induk semangnya yaitu siput L. Rubiginosa. Prevalensi penyakit ini pada ternak di daerah Jawa Barat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, sedangkan Pada DIY mencapai 40-90%.
2.2.1.3.3.   Morfologi

Cacing ini berbentuk pipih seperti daun, ukuran 20-30 milimeter X 8-13 milimeter, cuticula bersisik. Ujung anterior mempunyai tonjolan seperti kerucut disebut cephalic cone, sehingga memberi gambaran bentuk bahu, sedangkan pada bagian posteriornya tumpul.

Ia juga mempunyai ventral sucker  yang ukurannya lebih besar daripada oral sucker. Dengan bentuk oesophagus pendek, caeca bercabang, memenuhi bagian lateral badan sampai ujungposterior. Ia memiliki testis dua buah berbentuk dendrit dan susunannya tandem, kelenjar vittelaria tersebarsecara merata di bagian lateral dan posterior tubuh. Mempunyai ovarium yang berbentuk dendrit, uterus berkelok-kelok (coiled) ke anterior dan berakhir di porus genitalis di sebelah anterior ventral sucker (Susanto, 2008).
Telurnya berbentuk oval, besar, ukuran 130-150µ x 63-90µ, warna kuning kecoklatan, mempunyai operculum. Sewaktu keluar bersama faeces belum mengandung embrio (unembryonated).

2.2.1.3.4. Siklus hidup
1.    Telur keluar ke alam bebas bersama faeces domba. Bila menemukan habitat basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium.
2.    Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan Sporokista.
3.    Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia
4.    Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh siput menempel pada rumput dan berubah menjadi metaserkaria.
5.    Metaserkasria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya (Muslim, 2009).

2.2.1.3.5.   Patologi
Terjadi sejak larva masuk kesaluran empedu sampai menjadi dewasa. Parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu, dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat disaluran empedu dan lamanya infeksi gejala dari penyakit fasioliasis biasanya pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut terasa penuh, diare dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari perbesaran hati, ikterus, asites, dan serosis hepatis.       
2.2.1.3.6.   Pencegahan dan pengendalian
Beberapa cara-cara pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan tidak memakan sayuran mentah, pemberantasan penyakit fasioliasis pada hewan ternak. Bagi peternak hewan ternak yang menjadi tempat metaserkaria berkembang menjadi cacing muda harus mengusahakan agar kandang harus dijaga tetap bersih, dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau selokan. Siput-siput disekitar kandang dimusnakan untuk memutus siklus hidup Fasciola hepatica, sehingga cacing ini tidak menginfeksi ternak yang dagingnya akan dikonsumsi manusia. Pengobatan dengan obat-obatan yang dapat diberikan antara lain Heksakloretan, heksaklorofan, rafoxamide, niklofolan, dan bromsalan yang disuntikkan di bawah kulit.
2.2.1.4.   Dicrocoelum dendriticum
2.2.1.4.1. Klasifikasi
Kingdom                :           Animalia
Phylum                   :           Platyhelminthes
Class                       :           Trematoda
Ordo                       :           Plagiorchiida
Family                     :           Dicrocoeliidae
Genus                     :           Dicrocoelium
Species                    :           D. Dendriticum

2.2.1.4.2.   Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisis penyakit
Host definitif pada domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia yang termakan host intermediet  .cacing hati dicrocoelium dendriticum yang biasanya terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa,Asia, dan Amerika Utara  yang menyebabkan munculnya penyakit dicrocoeliasis (Soedarto, 2008).
Penyakit dicrocoeliasis disebabkan oleh cacing hati dicrocoelium dendriticum yang biasanya terdapat di dalam pembuluh empedu domba, rusa, babi, anjing, mamalia lain, dan kadang – kadang pada manusia di Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Dicrocoelium dendriticum ditemukan di seluruh Eropa (mantan Uni Soviet, Swiss, Italia, Jerman, Spanyol, Turki), Timur Tengah (Iran), Asia (Cina, Jepang, Vietnam), Afrika (Ghana, Nigeria, Sierra Leone) dan di Utara dan Amerika Selatan dan Australia. Parasit ini cenderung ditemukan di daerah yang mendukung host intermediate, seperti bidang dengan kering, kapur dan tanah basa. Dicrocoeliasis diyakini endemik atau berpotensi endemik di 30 negara (Soedarto, 2008).
2.2.1.4.3.   Morfologi

Tubuh memanjang, dengan panjang 6-10 × 1,5-2,5 mm. Bagian anterior sempit di bagian lengan melebar. Diposterior alat kelamin dipenuhi uterus yang bercabang-cabang. Telur coklat 36-45×20-32 mikron, beropeculum. Terdapat di dalam duktus biliverus domba, kambing, sapi, anjing, keledai, kelinci, jarang pada manusia (Susanto, 2008).
2.2.1.4.4   Siklus hidup

Host intermediet 1 : siput

Host intermediet 2 : semut
Telur dimakan Hospes intermediet 1 lalu menetas dan berkembang menjadi mirasidium. Ia melakukan migrasi ke glandula mesenterika, kemudian berkembang menjadi sporosiste lalu menjadi sporosiste anak dan menjadi serkaria.
Serkaria bergerombol, satu sama lain dilekatkan oleh subtansi gelatinous yang disebut “SLIME BALLS”. Kumpulan serkaria ini mengandung 200-400 serkaria dan dikeluarkan dari siput yang pada akhirnya melekat di tumbuh-tumbuhan. Slime balls dimakan semut. Metaserkaria di cavum abdominalis semut ± 128 per semut. Dapat juga memasuki otak semut. Induk semang definitif terinfeksi karena makan semut→ duktus biliverus→ hati. Cacing yang kecil masuk kecabang duktus biliverus→menempel dengan perubahan patologi tidak begitu tampak untuk memproduksi telur yang di butuhkan sekitar 11 minggu setelah hewan memakan metaserkaria (dibanding Fasciola hepatica) kecuali ada infeksi berat. Pada infeksi lanjut→ Cirrhosis hepatica dan terbentuk pada permukaan hati, duktus biliverus melebar terisi cacing (Susanto, 2008).
2.2.1.4.5.   Patologi
Gejala klinis atau patologi yang terlihat saat seseorang terkena infeksi cacing ini adalah munculnya oedema dan tubuh yang kurus. Tetapi pada beberapa kejadian tidak ada gejala klinis. Gejala klinis lainnya adalah dengan adanya serosis pada permukaan liver dan duktus empedu. Anemia berat  dapat mengancam dan terjadinya proliferasi glandula epitel pada duktus biliverus.
Diagnosis untuk infeksi dicrocoeliasis melibatkan identifikasi D. dendriticum telur dalam kotoran manusia atau hewan. Namun, pada manusia, telur dalam tinja mungkin hasil dari hewan yang terinfeksi menelan mentah hati dan mungkin tidak pada kenyataannya menunjukkan dicrocoeliasis. Oleh karena itu, memeriksa cairan empedu atau duodenum untuk telur adalah teknik diagnostik yang lebih akurat.
2.2.1.4.6.   Pencegahan dan pengendalian
Melihat pada kasus-kasus penyakit yang terjadil, karena infeksi manusia dengan D. dendriticum sangat jarang, ada beberapa saran untuk perawatan. Pengobatan standar adalah dengan Praziquantel pada 25 miligram per kilogram tiga kali sehari selama satu hari. Dalam salah satu pasien Jerman 600 mg dari Praziquantel diberikan tiga kali sehari selama tiga hari juga terbukti berhasil dalam menghilangkan parasit dari tubuh. Pengobatan dengan triclobendazole juga terbukti efektif. Salah satu perawatan yang telah terbukti berhasil di kedua manusia, domba dan kambing adalah 2 kapsul Mirazid (300 mg) selama enam hari.
2.2.1.5.   Ophistorchis viverini
2.2.1.5.1.   Klasifikasi
Kingdom              : Animalia
Phylum                 : Platyhelmintes
Class                     : Trematoda
Order                    : Opisthorchiida
Family                  : Opisthorchiidae
Genus                   : Opisthorchis
Spesies                 : Opisthorchis viverini
2.2.1.5.2.   Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit
Ophisthorchis viverini penyebarannya terdapat di Asia (Asia Tenggara terutama Thailand dan Laos). Pada umumnya cacing ini hidup di saluran empedu, namun kadang-kadang terdapat pula pada intestinum dan saluran pankreas. Hospes definitifnya adalah musang, kucing liar, kucing domestik, anjing serta manusia (Kamarudin, 2001).
2.2.1.5.3.   Morfologi
Memiliki panjang 7-12 mm lebar 3mm, Berbentuk pipih dan memanjang, oral sucker dan ventral sucker berukuran sama, testis terletak pada sepertiga bagian akhir, berlobus, uterus terletak antara ventral sucker dan ovarium, telur berukuran 26-30 x 11-15 mikrometer, berbentuk oval dan memiliki sedikit bahu yang menonjol.

2.2.1.5.4.   Siklus hidup
a.         Induk semang antara I merupakan siput dari genus Bithynia, sedangkan induk semang antara II adalah ikan air tawar
b.        Telur dimakan oleh siputàmirasidiumàsporosisàrediaàcercariaàdimakan oleh ikanàmetacercariaàdewasa
c.         Metacercaria menetas dalam duodenum dan bermigrasi melalui ductuscholeducus ke saluran empedu
d.        Masa prepaten 3-4 minggu (Soedarto, 2008).

2.2.1.5.5.   Patologi
Penyakit oleh cacing ini disebut opisthorchiasis. Cacing dewasa akan merangsang terjadinya reaksi radang serta poliferasi sel epitel saluran empedu. Perubahan ini dialnjutkan dengan dibentuknya jaringan fibrosis. Pada infeksi berat, proses akan merembet ke bagian proksimal saluran empedu dan terjadi fibrosis periportal. Beratnya penyaikt tergantung dari jumlah cacing serta lam infeksi. Jumlah cacing 50-60 ekor, menimbulkan gejala ringan, pada jumlah cacing beberapa ratus sampai 1000 ekor, menimbulkan gejala sedang nyeri, pembesaran hati serta bendungan pasif pada lien, disertai ikterus dan eosinofil lokal pada dinding usus. Pada penyakit besar, cacing akan menyerbu pankreas dengan disertai gangguan pencernaan makanan. Batu empedu dapat terbentuk sekeliling telur cacing yang bertindak sebagai inti batu tersebut, disertai cholecystitis dengan kolik. Timbul gejala penurunan nafsu makan, edema muka dan ekstremitas disertai asites (Soedarto, 2008).
-       Cacing Ophistorchis menyebabkan infeksi kataralis pada saluran empedu
-       Epithel saluran empedu mengalami hyperplasia dan kemudian akan berkembang menjadi carcinoma
-       Pembesaran pada hati dan pelebaran saluran empedu
-       Gejala klinis berupa hilangnya nafsu makan, muntah, anemia, ikterus, gangguan pencernaan, oedem, dan pada stadium lanjut terjadi ascites.         
2.2.1.5.6.   Pencegahan dan pengendalian
Cara pencegahan dari cacing Ophisthorchiasis adalah jika  hidup pada daerah endemik, ikan mentah jangan dikonsumsi ataupun diberikan kepada hewan peliharaan, mengurangi sumber infeksi dengan pengobatan penderita, menghindari penularan melalui TRP dengan memasak sempurna ikan yang akan dimakan, akan tetapi pengasinan, pendinginan, pemberian cuka tidah membunuh cacing. Selain itu juga dengan pemberian pendidikan yamg berhubungan dengan sanitasi lingkungan.
Pengobatan akibat dari infeksi cacing ini dapat dilakukan dengan pemberian obat praziquantel. Ini merupakan obat yang efektif dan aman diberikan dengan dosis tunggal 40 mg per kg berat badan, setealah makan. Efek sampingan berupa nyeri abdomen, mual, muntah diare, nyeri otot, nyeri kepala, dan rash. Diberiakn pencahar 4 jam setelah pemberian praziquantel dan akan mengeluarkan cacing bersama tinja dalam 1-2 jam. Klorokuin menyembuhkan gejala ringan mengurangi jumlah cacing. Selain itu obat-obat yang digunakan dalam penanganan Ophisthorchiasis  adalah Hexachlorophene, Clioxanide, Dithiazanin Iodid, Hexachloparaxylene, Niiridazole.
2.2.2.   Trematoda paru-paru
2.2.2.1.  Paragonimus westermanii
2.2.2.1.1.    Klasifikasi
Kingdom              : Animalia
Kelas                    : Trematoda
Superfamily          : Opisthorchioidea
Family                  : Troglotrematidae
Genus                   : Paragonimus
Spesies                 : Paragonimus westermani
2.2.2.1.2.   Epidemiologi, distribusi geografis, dan kondisi penyakit terkini
Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan dengan cara masak ketam dan pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.
Distribusi geografis cacing ini ditemukan di RRC, Taiwan, Jepang, Korea, Philipina, Thailand, India, Malaysia, Afrika, Amerika Latin dan Vietnam. Di Indonesia ditemukan  asli pada binatang sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor saja (Susanto, 2008).
2.2.2.1.3.   Morfologi                                                    
Cacing dewasa panjangnya ± 1,2 cm, seperti biji kopi, memiliki batil isap kepala dan batil isap perut, testis berlobus tidak teratur, ovarium bercabang terletak anterior
Uterus bersebelahan dengan ovarium berisi banyak telur, kelenjar vitelaria dari anterior sampai posterior. Telur berukuran ± 90 x 40 mikron, operculum besar dan mendatar, berisi morula.
Cacing dewasa berwarna merah kecoklatan, berukuran 12-18 x 4-6 mm. Pada saat aktif seperti sendok dengan ujung satunya berkontraksi dan yang lainnya memanjang, bentuk pada saat kontraksi menyerupai biji kopi, membujur dan pipih, kutikula berduri. Batil isap kepala besarnya sama dengan batil isap perut. Batil isap perut terletak tepat di anterior garis anterior. Testis berlobus dalam dan tidak teratur, terletak miring dan berada sepertiga bagian dari posterior tubuh. Ovarium besar dan berlobus, terletak di sebelah anterior testis, di sebelah kanan berhadapan dengan uterus yang berkelak-kelok. Telurnya berbentuk lonjong dan berwarna kuning kecoklatan berukuran 95 x 45 mikron, dinding dua lapis, pada salah satu ujung terdapat operkulum besar dan ceper ( pendek ). Sedangkan pada ujung yang lain dinding mengalami penebalan. Isi telur berupa morula (Muslim, 2009).
2.2.2.1.4.   Siklus hidup
Siklus hidup cacing ini dimulai saat telur keluar bersama tinja atau sputum yang berisi sel telur. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium mencari keong air dan dalam keong air terjadi perkebangan mirasidium menjadi serkaria, serkaria menjadi redia I dan redia II lalu berkembang menjadi metaserkaria. Infeksi terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.

Serkaria keluar dari keong air berenang mencari hospes perantara II yaitu ketam atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya.
Dalam hospes definitive, metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus oleh kista, biasanya ditemukan 2 ekor di dalamnya (Hadidjaja, 2000).
2.2.2.1.5.   Patologi
Gejala pertama saat ditemui infeksi dari cacing ini dalam tubuh ialah di mulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah. Cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat –alat  lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut misalnya pada hati dan empedu. Saat larva masuk dalam saluran empedu dan menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu, penebalan dinding saluran, peradangan sel hati dan dalam stadium lanjut akan menyebabkan sirosis hati yang disertai oedema.
Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. Gejala yang muncul dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu :
1.    Stadium ringan     : tidak ditemukan gejala.
2.    Stadium progresif : terjadi penurunan nafsu makan, perut     terasa penuh, diare.
3.    Stadium lanjut    :didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, oedema dan sirosis hepatis.
2.2.2.1.6.   Pencegahan dan pengendalian                                                                                   
Pencegahan yang dapat dilakukan guna menghindari infeksi cacing ini adalah dengan tidak memakan ikan atau udang atau kepiting mentah. Apabila ingin menkonsumsi harus sudah dimasak secara sempurna sehingga bisa dihindari dari terinfeksi oleh metaserkaria dalam ikan atau kepiting tersebut.
Ketika memasak setiap ikan, udang, keong, ketam maupun kepiting harus diupayakan hingga matang dan menghindari memakannya secara langsung (mentah). Pembuangan tinja dan sputum pada tempatnya (jamban) juga dapat mengurangipenyebaran cacing ini.
                                                                                  

BAB III
KESIMPULAN
Trematoda yang hidup pada manusia hidup sebagai parasit sehingga organ pencernaan, genital, dan beberapa bagian lainnya mengalami kemunduran fungsional. Walaupun hanya beberapa infeksi parasit yang menyebabkan kematian, tetapi banyak juga yang menunjukkan angka kesakitan (morbiditas). Trematoda yang hidup dalam tubuh manusia dapat digolongkan menurut tempat di mana ia hidup, meliputi trematoda usus, trematoda darah, trematoda hati, dan trematoda paru-paru.
Spesies yang merupakan parasit dalam darah meliputi :
1.    Schistosoma japonicum
2.    Schistosoma mansoni
3.    Schistosoma haematobium
Spesies-spesies trematoda parasit darah ini memiliki hospes definitif manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoir. Serkaria adalah bentuk infektif cacing schistosoma. Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skitosomiasis atau bilharziasis. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lender usus atau kandung kemih. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang.
Sejak larva masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema.

Spesies-spesies Trematoda yang merupakan parasit dalam jaringan, seperti hati antara lain: Clonorchis sinensis, Opisthorcis felineus, Fasciola hepatica, Dicrocoelum dendriticum, dan Opisthorcis viverni. Sedangkan trematoda parasit paru-paru manusia adalah Paragonimus westermani. Dalam hospes defenitif, metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Cacing dewasa hidup dalam kista di paru-paru. Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan yang baik untuk menanggulangi cacing ini.

DAFTAR PUSTAKA

Choi, Dongil, et al. 2007. Imaging diagnosis of clonorchiasis Department of Radiology, Samsung Medical Center Sungkyunkwan University School of Medicine, Seoul 135-710, Korea. Department of Parasitology and Tropical Medicine, Seoul National University College of Medicine, Seoul 110-799, Korea. The Korean Society of Parasitology. Vol.45 (2)
Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah. 2006. Data Surveilans Schsitosomiasis Tahun 2006. Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah
Hadidjaja, P. 2000. Trematoda Darah Parasitologi Kedokteran. Jakarta:FKUI
Jastal, T.A. Garjito, S. Chadijah, Hayani, Mujiyanto. 2008. Laporan Survei di Dataran Tinggi Napu. Sulawesi Tengah : Loka Litbang P2B2 Donggala
Kamaruddin, Mufti dkk. 2001. Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
Muslim, M. 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta : Anggota IKAPI
Suhardono and D.B. Copeman, 2001, Dinamika populasi siput Lymnaea rubiginosa di sawah padi dan infeksinya oleh larva trematoda di Kecamatan Surade, Jawa Barat Population Dynamics Of Snail Lymnae Rubiginosa In Rice Fields And Its Infection With  Larvae Of Trematodes In   The Subdistrict Of Surade, West Java, Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4): 241-249. JITV Vol. 5. No.
Susanto, Inge, dkk. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI                      

Tiuria, Risa, dkk. 2008. Prevelance of Trematodes in Javan Rhinocros and banteng at ujung kulon national park. ISSN : 1411-8327

0 comments:

Post a Comment

Contact

Get in touch with me


Adress/Street

12 Street West Victoria 1234 Australia

Phone number

+(12) 3456 789

Website

www.johnsmith.com